I.
PENDAHULUAN
Ibadah merupakan
suatu tanda bahwa kita memiliki agama. Melalui ibadah kita akan menjadi merasa
lebih dekat dengan Tuhan. Selain itu, ibadah merupakan hal yang terpenting
untuk pertumbuhan iman dan spiritual
kita. Namun dalam kehidupan orang Kristen sekarang masih banyak yang kurang
menyadari pentingnya untuk menumbuhkan spiritualitas. Ini disebabkan kehidupan
di zaman modern ini, dimana manusia banyak yang mementingkan kebutuhan
jasmaninya dibanding dengan kebutuhan rohaninya. Sehingga tak heran lagi bagi
kita, bila sekarang ini banyak manusia atau anggota jemaat yang malas untuk
pergi beribadah. Ini dikarenakan kurangnya kesadaran manusia untuk beribadah.
Hal ini sendiri terlihat di beberapa gereja yang kehadiran jemaatnya sangat
minim untuk menghadiri ibadah.
Dengan ibadah
dapat dicapai komunikasi dengan Allah, melalui Firman Tuhan dan doa kepadaNya
di dalam keheningan dan ketenangan hati, di tengah keseharian, selain itu juga untuk menumbuhkan spiritualitas,
sehingga dapat terbentuk pribadi yang hidup sesuai dengan kehendak Allah.
Namun pada kenyataanya, banyak anggota jemaat yang
beranggapan Ibadah hanyalah formalitas semata, untuk memenuhi kewajiban
keagamaan saja, tanpa menghidupinya, atau diterapkan dalam kehidupannya. Berdasarkan
hal-hal di atas, maka penulis
akan coba membahas
mengenai betapa pentingnya Ibadah untuk meningkatkan
Spiritualias, agar dengan spiritulitas yang matang kita dapat hidup
berdampingan dengan sesama dengan baik, terlebih juga dengan Allah.
II.
ISI
2.1 Spiritualitas
Pemahaman atas
Spiritualitas, dapat digali dari akar katanya, yaitu “Spirit”. Dalam Bahasa Ibrani, kata yang digunakan
untuk menyebut kata “spirit” adalah “ruah”. Pengertian dasarnya di dalam
Perjanjian Lama adalah Angin (mis. di dalam Yes. 7:1; Kej 3:8; Kel. 10:13).
Pengertian lainnya adalah nafas yang dikaruniakan Allah kepada manusia (Yes.
42:5). ataupun juga angin yang menunjukan kuat kuasa Tuhan. Namun pengertian
tersebut diperluas, dimana “ruah” adalah energi atau kekuatan vital, yang
berasal dari inisiatif dan karya Allah sebagai nafas, perasaan ataupu kehendak
di dalam diri seseorang.[1]
Dalam Perjanjian
Baru, kata “ruah” tersebut sejajar dengan kata “pneuma”. Dimana “Pneuma” atau
spirit dapat berarti dimensi kepribadian manusia dalam kaitannya hubungannya
dengan Allah menjadi sesuatu yang mungkin (Mark. 2:8; Kis. 7:59; Rom. 1:9; 8:
16; I Kor. 5:3-5). Roh Manusia memungkinkan untuk berhubungan langsung dengan
Roh Allah (Rom. 8:9-17). Daging dan roh sering berdekatan dan keduanya dapat
saling merusak (II Kor. 7:1); atau sama-sama kudus (I Kor. 7:34). Kelemahan
daging dapat menguat, tetapi roh akan berdoa (Mark. 14:38). Menyembah Allah dalam Roh diterima, dan ini
bertentangan menyembah Allah dalam daging (Fil. 3:3). Allah adalah Roh; karena
itu manusia menyembahNya di dalam Roh dan Kebenaran (Yoh. 4:24). Karena Roh
Allah adalah kudus, maka Ia akan bertentangan dengan roh ketidakkudusan dan roh
jahat yang merusak hubungan antara Allah dan manusia.
Baik Perjanjian
Lama ataupun Perjanjian Baru juga memberikan kesaksian tentang perjalanan spiritualitas
Umat Allah. Dalam tradisi Israel, spiritualitas adalah hidup di dalam kerangka
karya keselamatan Allah bagi umat-Nya dalam sejarah umatNya. Sejarah karya
keselamatan Allah tersebut direfleksikan di dalam iman persekutuan umatNya dan
di dalam liturgi, dan dipusatkan di kuilNya. Tiap individu menjadi berhubungan
dengan sejarah dan identitas sebagai Umat Allah di dalam kehidupan ibadahnya.
Dimana di dalam ibadah tersebut terekspresikan permohonan, pujian, ucapan
syukur, dan penyesalan dosa.[2]
Ibadah dalam
tradisi Israel mengkonsepkan bahwa Tuhan adalah Dia yang memasuki hubungan
diagologis dengan umatNya. Dia diyakini memperhatikan apa yang dibutuhkan
umatNya; marah akan dosa umat; bahkan membuka berubahnya pemikiran umatNya
(Kel. 32:7-14; Bil. 14:13-25; 1 Sam. 8:4-22). Dalam spiritualitas umat Israel,
fokus utamanya adalah kehadiran Allah dalam hidup mereka. Namun Allah juga
dapat tidak hadir dalam hidup mereka. Sehingga, fokus utama itu juga akan
merujuk kepada kepatuhan kepada Hukum Allah. Hukum itu adalah ekspresi kehendak
Allah dan kehendakNya kepada umat sebagai jalan kepada seluruh ciptaan.
Pemenuhan kehendak Allah itu adalah nyatanya kehadiran Allah. Oleh karena itu,
orang Israel akan belajar dan memelihara
HukumNya (Ul. 6:4-9)[3].
Spiritualitas
umat Kristen diawali dari titik penebusan dosa di dalam Kristus. Kita
dibaptiskan di dalam Kristus, dimana sebagai orang berdosa orang Kristen
ditebus dan menjadi ciptaan baru (Rom.6: 3-11; 2 Kor. 5:17). Spiritualitas yang
sesungguhnya bukanlah program seseorang ataupun bagaimana seseorang mencoba
untuk membenarkan dirinya sendiri (Gal. 2:15-21). Tetapi dimulai dari panggilan
Allah, lahir baru, pertobatan (Yoh. 3:3-4, Kis. 2:38-39). Dalam hal ini, maka
Spiritualitas Kristen juga bicara tentang kekudusan.
Spiritualitas
juga akan dikaitkan dengan kekuatan cinta dari hidup. Dengan cinta kasih sayang
tersebut, setiap ciptaan akan berhubungan dengan ciptaan yang lain, yang mana
tidak hanya hidup; tetapi ingin hidup.[4]
Dengan dimensi spiritualitasnya, maka manusia tidak hanya bicara bagaimana ia
hidup; tetapi juga bagaimana orang lain hidup; dan bagaimana ia hidup bersama
orang lain. Tetapi itu bukanlah dengan kekuatan manusia sendiri. Sebagai
akarnya adalah kehidupan orang Kristen dengan dimensi spiritualnya, yang
merujuk kepada penghidupan praktik peribadahan.[5]
Dari sini, maka dimensi spiritualitas orang Kristen akan mempengaruhi bagaimana
hubungan antara Roh dan daging. Dimana orang-orang Kristen tetap akan
menghadapi konflik dengan daging. Konflik dengan daging itu adalah konflik
dengan dosa. Ada baiknya, jika akan selalu ada perjuangan untuk bisa
memenangkan konflik tersebut, jika memiliki tingkatan spiritualitas yang
tinggi.
Dalam hal ini,
spiritualitas dalam pemahaman yang demikian adalah sebuah proses. Proses itu
sendiri serupa dengan spiritualitas Yahudi, yang diformulasikan membaca dan
mendengar, dan menghidupi kasih. Fokus orang Kristen seharusnya adalah
totalitas penyembahan kepada Allah (Mat. 6:33), dan itu membutuhkan Kasih Allah
dan respon manusia secara totalitas di dalam pengorbanan dan transformasi akal
budi (Rom. 12:1-2). Kebangkitan dan pemeliharaan fokus utama tersebut dapat
dicapai dengan membaca kitab suci, meditasi, doa, puasa, kehadiran dalam
gereja, bersedekah dan melayani sesama.[6]
Sehingga Spiritualitas Kristen bicara tentang bagaimana menghayati perjumpaan
dengan Kristus dengan menunjuk bagaimana cara kehidupan kristen dijalani dan
bagaimana praktek penyembahan dikembangkan untuk membantu menumbuhkan dan
melanggengkan hubungan dengan Kristus, di tengah-tengah dinamika hidup dengan
segala pergumulannya. Dengan harapan terjadinya perubahan hidup dalam sikap
tindak dan perilaku yang menuju kepada pertobatan dan buah-buahnya. [7]
2.2 Ibadah
Kristen
Kata Ibadah,
sebenarnya lebih dekat pada artian “mengabdi pada”. Kata tersebut menyangkut
bukan hanya upacara agama, melainkan seluruh hidup. Kata Ibadah berasal dari
bahasa Ibrani “abodah”, dengan akar
kata “abad” yang berarti “bekerja
atau abdi”. Dalam penggunaan katanya menunjuk pada “melayani seorang atasan
atau tuan/nyonya”. Dengan demikian kata abodah
dapat berarti “ibadah” atau “pekerjaan seorang hamba”.[8]
Kata Ibadah diartikan dengan memberikan penghormatan kepada Allah sebagai
Pencipta, Penyelamat, dan Pengudus. Ibadah Kristiani meliputi pujian, syukur,
penyerahan diri, tobat, dan doa permohonan.[9]
Adapun Kata Ibadah berasal dari bahasa Inggris Kuno weorthscipe, yang secara harafiah berarti memberikan penghormatan
atau penghargaan kepada seesorang.
Ibadah juga
tentu ada kaitannya dengan Liturgi. Kata Liturgi berasal dari Yunani yaitu Leitourgia (leos : rakyat & ergon:
kerja) yang berarti kerja bakti yang dilakukan penduduk kota. Pada zaman itu
liturgi berarti apa yang dibaktikan seseorang bagi kepentingan kehidupan
bersama. Kemudian Liturgi juga berarti pajak yang dibayar oleh warga negara.
Sekitar tahun 300 S.M, kata liturgi mendapat arti yang lain, yakni ibadah dalam
kuil. Beberapa ratus tahun kemudian para pengarang Perjanjian Baru memakai kata
liturgi untuk ibadah atau kebaktian kepada Tuhan. Dalam Kisah Para Rasul 13.2
tertulis : “Pada suatu hari ketika mereka beribadah (leitourgounton) kepada Tuhan . . .” Dari situ kita sekarang
mengenal kata liturgi dalam arti tata Ibadah.[10]
Ibadah juga merupakan suatu kegiatan
yang sangat penting dan berbeda dengan kegiatan yang biasa kita lakukan dalam
kehidupan kita sehari-hari. Ibadah Kristen adalah sejenis ibadah yang sangat
kuat berlandaskan pada pengaturan waktu untuk membantu ibadah tersebut dalam
memenuhi maksudnya. Ibadah
Kristen adalah penyataan diri Allah sendiri dalam Yesus Kristus dan tanggapan
manusia terhadap-Nya. Kalimat itu mempunyai dua kata kunci yaitu “penyataan”
dan “tanggapan”. Di tengah keduanya adalah Yesus Kristus yang menyingkapkan
Allah kepada kita dan melalui siapa kita membuat tanggapan kita. Ini adalah
suatu hubungan timbal balik dimana Allah mengambil inisiatif dalam mencari kita
melalui Yesus Kristus dan kita menjawab melalui Yesus Kristus dengan
menggunakan emosi, kata-kata dan bermacam-macam perbuatan. Jadi Allah sendirilah
yang membuat ibadah itu suatu kemungkinan: “Pemberian Allah mengundang
penyembahan manusia kepada Allah”. Ibadah adalah penampakan diri Gereja, yang
karenanya Gereja mendapatkan identitas dirinya dalam ibadah karena hakikatnya
yang riil dijadikan nyata dan Gereja dituntun untuk mengakui keberadaannya
sendiri yang sebenarnya.[11]
2.3 Pujian dan
Penyembahan
Pujian dan
penyembahan merupakan suatu istilah yang sering kita dengar di antara jemaat
Tuhan. Hal ini sering kali dihubungkan dengan pelayanan musik. Di satu sisi
memang hal ini benar, tetapi di sisi lain, ada beberapa hal yang perlu
diketahui, sehingga pemahaman kita terhadap apa yang disebut dengan pujian dan
penyembahan menjadi lebih lengkap.[12]
Pujian bukanlah konsep yang sulit dimengerti, karena ia adalah bagian hidup
kita sehari-hari. Pujian adalah sesuatu yang kita tujukan langsung kepada Tuhan
atau sesuatu yang yang kita ungkapkan kepada orang lain mengenai Tuhan.
Terkadang pujian diartikan dengan konsep yang sederhana, yaitu membanggakan,
memberi tepuk tangan, menunjukkan rasa kagum atau senang terhadap,
mengelu-elukan dengan kata-kata atau nyannyian, membesarkan, memuliakan.[13]
Perlu disadri bahwa pujian dan penyembahan bukan hanya merupakan satu gerakan
dalam alam gerakan pikiran kita saja, tetapi juga merupakan suatu tindakan
dalam kehidupan kita sehari-hari. Pujian dan penyembahan akan mempengaruhi
kehidupan seseorang, yakni bagaimana seseorang bertingkah laku. Dalam pujian
dan penyembahan, perubahan gaya hidup dan karakter seseorang akan semakin nyata
mengarah kepada keserupaan terhadap Kristus.[14]
Dalam Roma
15:11, Tuhan mengatakan “Dan lagi: pujilah Tuhan, hai kamu semua bangsa-bangsa,
dan biarlah segala suku bangsa memuji Dia”. Kata pujian atau praise merupakan
terjemahan dari bahasa Ibrani dan Yunani. Pujian diartikan sebagai sesuatu
tindakan memuji yang diekspresikan secara sungguh-sungguh, yang berdasarkan
keadaan suatu objek. Pujian itu adalah sebuah tindakan. Pujian bukan hanya
perasaan, tetapi pujian merupakan sesuatu yang dilakukan oleh seseorang. Jika
kita hanya berpikir untuk memuji, hal tersebut belumlah memuji. Memuji yang
sebenarnya adalah disertai dengan adanya perlakuan pujian yakni suatu tindakan
yang nyata. Bila kita memuji Tuhan, maka jelaslah pujian tersebut harus
merupakan suatu tindakan. Pujian yang diberikan harus berasal dari kesungguhan
dan ketulusan hati. Bukan pijian yang basi-basi. Pujian adalah merupakan
benar-benar pujian apabila dinyatakan dari dalam hati yang paling dalam. Pujian
bukanlah kata-kata yang tanpa arti sesungguhnya. Apalagi kalau pujian itu tidak
tulus seperti yang dilakukan para serdadu wali negeri yang mengolok-olok Yesus
dan berkata “Salam, hai Raja orang Yahudi” (Mat 27:29).
Allah tidak
memerlukan pujian yang munafik dan basa-basi, melainkan Dia merindukan agar
anak-anak-Nya dapat memuji Dia dengan sepenih hati. Pujian yang keluar dari
hati yang tahu akan kebenaran ucapannya merupakan dupayang harum bagi Allah.
Terkadang kita sebagai jemaat Allah menyanyi dalam ibadah di Gereja telah
diartikan bahwa kita sedang memuji Allah. Namun, perlu diingat, jika kita
bernyanyi hanya karena pemimpin pujian menyuruh kita bernyanyi atau karena kita
sebagai orang Kristen sudah menjadi bagian dari liturgi Gereja, sehingga
nyanyian tersebut menjadi rutinitas yang harus dilakukan dalam ibadah, maka
sudah dapat dipastikan bahwa kita sedang memuji dalam arti yang sebenarnya.[15]
2.4 Peran
Ibadah Terhadap Spiritualitas
Sebagaimana
telah dibahas sebelumnya, spiritualitas orang Kristen akan bicara tentang
bagaimana orang Kristen berproses dalam menghayati perjumpaan dengan Kristus
dengan menunjuk bagaimana cara kehidupan kristen dijalani dan bagaimana praktek
penyembahan dikembangkan untuk membantu menumbuhkan dan melanggengkan hubungan
dengan Kristus, di tengah-tengah dinamika hidup dengan segala pergumulannya.
Orang Kristen
secara nyata patutlah untuk menjalani hidup menuju pertobatan dan mencapai
kekudusan di dalam segenap gerak langkah hidupnya. Dengan spiritualitasnya,
orang Kristen menjadi taat kepada Allah dari hatinya. Orang Kristen tidaklah
hanya berpikir tentang bagaimana ia hidup; tetapi juga bagaimana ia hidup
bersama orang lain. Dan spiritual orang Kristen dapat menentukan bagaimana ia
dapat hidup seperti yang demikian. Namun jatuh bangun dalam menjalani hidup
seperti akan selalu terjadi. Maka untuk itu, Allah tidak akan membiarkan orang
Kristen sendirian.[16]
Setiap orang di
dalam sebuah komunitas atau lingkungan, dapat kapan saja mengalami kerusakan
hubungan. Tiap orang memiliki permasalahan dalam dinamika kehidupannya.
Terkadang masalah itu datang dari orang lain; atau datang dari diri sendiri.
Dan masalah-masalah itu, bisa menyebabkan terjadinya gangguan dalam relasi
sosial seseorang dengan orang lainnya. Sehingga semakin memperbesar
ketidakbahagiaan serta menambah banyak persoalan.
Di tengah
situasi yang demikian, terjadilah kesukaran setiap orang, khususnya orang
Kristen untuk benar-benar dapat memahami Tuhan dan kehendakNya di dalam
pengalaman hidup. Pemahaman tentang Tuhan dan iman, mungkin sudah menjadi
sebuah pengetahuan konseptual; tetapi tidak di dalam praktiknya. Keselamatan
seharusnya dibuahkan di dalam keseharian, melalui pertobatan dan perjuangan
bersama Tuhan untuk mencapai kekudusan, melalui penghidupan Firman dan Suri
Teladan Kristus. Tetapi bisa saja terjadi kendala, dimana secara riil, Firman
Tuhan tidak mendapat tempat untuk dibuahkan di dalam pengalaman. Dalam rangka
itulah, spiritualitas orang Kristen penting untuk ditumbuhkembangkan, demi
mencapai orang Kristen yang cerdas spiritual. Orang Kristen yang cerdas spiritual
akan mudah menghantar dirinya ke arah positif dalam berbagai situasi yang ada,
dimana dia sudah memiliki kesadaran yang mendalam akan hidup yang berarti dan
sejati. Ia dapat menentukan untuk dapat bertindak baik atau jahat; baik atau
buruk; bijaksana atau tidak bijaksana. Orang yang cerdas spiritual dapat
mengenali dirinya sendiri; jujur pada dirinya; dan mengendalikan dirinya
sendiri. Ia juga peka kepada orang lain dan lingkungannya, serta tenang dalam
menghadapi situasi yang berganti-ganti.[17]
Intinya orang
yang cerdas spiritual akan sangat menikmati hubungannya dengan Tuhan,
berkomitmen dan berdedikasi di dalam iman yang kuat. Ia akan memahami kehendak
Allah dalam hidup dan akan tulus untuk bisa hidup dengan iklas, adil,
mengampuni, suka memberi, belas kasih, bijaksana, dan tanggungjawab yang
tinggi. Ia akan mengutamakan sikap saling mengasihi, memelihara dan membimbing.
Hal yang terpenting untuk meningkatkan kecerdasan spiritual adalah kesadaran
atas diri sendiri. Sadar sepenuhnya tentang tugas dan tanggungjawabnya sebagai
ciptaan Tuhan, dengan segala kekuatan dan kekurangannya. Kecerdasan spiritual
dapat dikembangkan dengan mendalam nilai-nilai spiritual, melatih kesadaran
mendalam akan makna, visi, dan tanggungjawab kehidupan. Dan melatih untuk tidak
berbuat sesuatu demi dirinya sendiri; melainkan untuk orang lain.
Dan sesuai
dengan yang sudah disebutkan sebelumnya, kesadaran diri tersebut berakar dari
praktek peribadahan untuk mengembangkan spiritualitas/kecerdasan spiritual
orang Kristen. Dan menghidupi ibadah harian dapat menjadi salah satunya. Orang
Kristen tidak dapat memisahkan ibadah harian, sebab ibadah harian membawa
kepada fokus menyerahkan seluruh hari kita kepada Allah. Gaung dari ibadah
Minggu dilanjutkan gemanya setiap hari oleh orang Kristen. Ibadah akan membawa
orang Kristen untuk berkomunikasi dengan Allah di dalam Doa Pujian dan
Permohonan.
Ibadah atau doa
dapat dipraktikan dalam suasana komunal ataupun pribadi. Mungkin dapat dihidupi
setiap hari. Meskipun saat
ini, kehidupan seolah memaksa orang Kristen untuk lebih fokus untuk kehidupan
duniawinya, namun tetap penting untuk tidak melupakan pembangunan dan
pengembangan spiritualitasnya, yang dapat menunjang bagaimana dirinya menjalani
kehidupan duniawinya. Kedispilinan membaca, mendengarkan Firman Tuhan serta
berdoa dapat menjadi sumber kekuatan dan pengetahuan untuk membuka dan
memurnikan hati ini, yang nantinya akan membantu mengarahkan pikiran, sikap dan
tindakan seturut dengan FirmanNya.
Ibadah juga
dapat berperan dalam pembentukan hati nurani yang seturut dengan Firman Tuhan.
Dengan displin menghidupinya, maka hati nurani akan terlatih untuk
mensejajarkan penilaian terhadap pikiran, perkataan, sikap dan tindakan kita.
Apabila menghabiskan waktu secara teratur dengan Allah dalam membaca Alkitab
dan merenungkannya serta berdoa, maka seseorang akan menjadi heran bagaimana
hati ini menuntun dalam kehidupan.[18] Ibadah dapat lebih
membawa peranan yang kuat dalam kaitannya dengan spiritualitas atau kecerdasan
spiritual, apabila dilakukan dalam keseriusan
dan memang hati kita tertuju kepada Allah. Dengan itu, maka manusia dapat
membebaskan pikiran dan imajinasi untuk terfokus dan terpusat pada hadirat
Allah yang Hidup (Maz. 46:10).[19]
III.
KESIMPULAN
1.
Spiritualitas Kristen
bicara tentang bagaimana orang Kristen berproses dalam menjalani kehidupannya
di dalam ketaatan dari hati kepada Allah dan kasih kepada sesamanya;
2.
Dengan
kehidupan spiritualnya, orang Kristen dapat menjadi pribadi yang penuh kasih; peka
terhadap orang lain dan lingkungan; tenang dalam menghadapi berbagai situasi,
serta sikap dan tindakan positif lainnya;
3. Spiritualitas
orang Kristen dapat dibangun dan dikembangkan melalui kedisplinan menghidupi
ibadah. Dimana ibadah dapat sumber kekuatan dan pengetahuan untuk membuka dan
memurnikan hati serta membantu mengarahkan pikiran, sikap dan tindakan seturut
dengan FirmanNya;
4. Ibadah
dapat dihidupi dalam keseharian di lingkungan keluarga ataupun secara pribadi,
di dalam keheningan dan penghayatan yang dalam. Serta patut dihidupi bersamaan
dengan lingkup spiritual Kristiani lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Carl Schultz, “Spirit”, dalam Baker Theological Dictionary (Ed. Walter A.
Elwell), Michigan: Baker Books, 1996.
Allister E. McGrarth, Spiritualitas Kristen, Medan: Bina Media
Perintis, 2007.
Dennis, L. Okhlom, “Spirituality”,
dalam Baker Theological Dictionary (Ed.
Walter A. Elwell), Michigan: Baker Books, 1996.
Juergen Moltmann, The Spirit of Life, Minneapolis: Fortress Press, 1992.
“Spirituality”, dalam The Concise of the Christian tradition (Ed.
J.D. Douglas, W. Elwell, Peter Toon), Zondervan Publishing Company, 1989.
Christoph Barth, Teologi
Perjanjian Lama 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Gerald O’Collins & Edward G. Farrugia, Kamus
Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Andar Ismail, Selamat
Berbakti, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
James F. White, Pengantar
Ibadah Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.
John Halim, Pujian dan
Penyembahan dalam 24 Jam, Malang: Gandum Mas, 2005.
Bob Sorge, Mengungkap
Segi Pujian dan Penyembahan, Yogyakarta:
Andi Offset, 2010.
Theo Riyanto & Martin Handoko. Membangun Hidup Religius Yang Damai dan Sejahtera, Yogyakarta :
Kanisius, 2008.
Jerry White, Kejujuran,
Moral dan Hati Nurani, Jakarta: BPK Gunung Muia, 2000.
[1] Carl
Schultz, “Spirit”, dalam Baker
Theological Dictionary (Ed. Walter A. Elwell), Michigan: Baker Books, 1996:
744.
[2] Dennis, L.
Okhlom, “Spirituality”, dalam Baker
Theological Dictionary (Ed. Walter A. Elwell), Michigan: Baker Books, 1996,
744.
[3] Dennis, L.
Okhlom, “Spirituality”, 746.
[4] Juergen Moltmann, The Spirit of Life, Minneapolis:
Fortress Press, 1992, 86.
[5] “Spirituality”, dalam The Concise of the Christian tradition (Ed. J.D. Douglas, W. Elwell,
Peter Toon), Zondervan Publishing Company, 1989, 358.
[6] Dennis, L. Okhlom, “Spirituality”, 747.
[7] Allister E. McGrarth, Spiritualitas Kristen, 2.
[8] Christoph
Barth, Teologi Perjanjian Lama 2,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010. 44
[9] Gerald
O’Collins & Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius,
1996, 109
[10]Andar Ismail,
Selamat Berbakti, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2008, 32
[11] James F.
White, Pengantar Ibadah Kristen,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002, 7-9.
[12] John Halim, Pujian dan Penyembahan dalam 24 Jam, Malang:
Gandum Mas, 2005, 9.
[13] Bob Sorge, Mengungkap Segi Pujian dan Penyembahan, Yogyakarta: Andi Offset, 2010, 1-2.
[14] John Halim, Pujian dan Penyembahan dalam 24 Jam, 10.
[15] John Halim, Pujian dan Penyembahan dalam 24 Jam, 10-11.
[16] Theo Riyanto
& Martin Handoko. Membangun Hidup
Religius Yang Damai dan Sejahtera, Yogyakarta : Kanisius, 2008, 15
[17] Theo Riyanto
& Martin Handoko. Membangun Hidup
Religius Yang Damai dan Sejahtera, 59
[18] Jerry White,
Kejujuran, Moral dan Hati Nurani,
Jakarta: BPK Gunung Muia, 2000, 32.
[19] Allister E.
McGrarth, Spiritualitas Kristen, 164.