Pages

Subscribe:

God is Good

13 Dec 2017

MENINGKATKAN SPIRITUALITAS DENGAN BERIBADAH



I.                   PENDAHULUAN
Ibadah merupakan suatu tanda bahwa kita memiliki agama. Melalui ibadah kita akan menjadi merasa lebih dekat dengan Tuhan. Selain itu, ibadah merupakan hal yang terpenting untuk pertumbuhan iman dan spiritual kita. Namun dalam kehidupan orang Kristen sekarang masih banyak yang kurang menyadari pentingnya untuk menumbuhkan spiritualitas. Ini disebabkan kehidupan di zaman modern ini, dimana manusia banyak yang mementingkan kebutuhan jasmaninya dibanding dengan kebutuhan rohaninya. Sehingga tak heran lagi bagi kita, bila sekarang ini banyak manusia atau anggota jemaat yang malas untuk pergi beribadah. Ini dikarenakan kurangnya kesadaran manusia untuk beribadah. Hal ini sendiri terlihat di beberapa gereja yang kehadiran jemaatnya sangat minim untuk menghadiri ibadah.
Dengan ibadah dapat dicapai komunikasi dengan Allah, melalui Firman Tuhan dan doa kepadaNya di dalam keheningan dan ketenangan hati, di tengah keseharian, selain itu juga untuk menumbuhkan spiritualitas, sehingga dapat terbentuk pribadi yang hidup sesuai dengan kehendak Allah. Namun pada kenyataanya, banyak anggota jemaat yang beranggapan Ibadah hanyalah formalitas semata, untuk memenuhi kewajiban keagamaan saja, tanpa menghidupinya, atau diterapkan dalam kehidupannya. Berdasarkan hal-hal di atas, maka penulis akan coba membahas mengenai betapa pentingnya Ibadah untuk meningkatkan Spiritualias, agar dengan spiritulitas yang matang kita dapat hidup berdampingan dengan sesama dengan baik, terlebih juga dengan Allah.



II.                ISI
2.1  Spiritualitas
Pemahaman atas Spiritualitas, dapat digali dari akar katanya, yaitu “Spirit”.  Dalam Bahasa Ibrani, kata yang digunakan untuk menyebut kata “spirit” adalah “ruah”. Pengertian dasarnya di dalam Perjanjian Lama adalah Angin (mis. di dalam Yes. 7:1; Kej 3:8; Kel. 10:13). Pengertian lainnya adalah nafas yang dikaruniakan Allah kepada manusia (Yes. 42:5). ataupun juga angin yang menunjukan kuat kuasa Tuhan. Namun pengertian tersebut diperluas, dimana “ruah” adalah energi atau kekuatan vital, yang berasal dari inisiatif dan karya Allah sebagai nafas, perasaan ataupu kehendak di dalam diri seseorang.[1]
Dalam Perjanjian Baru, kata “ruah” tersebut sejajar dengan kata “pneuma”. Dimana “Pneuma” atau spirit dapat berarti dimensi kepribadian manusia dalam kaitannya hubungannya dengan Allah menjadi sesuatu yang mungkin (Mark. 2:8; Kis. 7:59; Rom. 1:9; 8: 16; I Kor. 5:3-5). Roh Manusia memungkinkan untuk berhubungan langsung dengan Roh Allah (Rom. 8:9-17). Daging dan roh sering berdekatan dan keduanya dapat saling merusak (II Kor. 7:1); atau sama-sama kudus (I Kor. 7:34). Kelemahan daging dapat menguat, tetapi roh akan berdoa (Mark. 14:38).  Menyembah Allah dalam Roh diterima, dan ini bertentangan menyembah Allah dalam daging (Fil. 3:3). Allah adalah Roh; karena itu manusia menyembahNya di dalam Roh dan Kebenaran (Yoh. 4:24). Karena Roh Allah adalah kudus, maka Ia akan bertentangan dengan roh ketidakkudusan dan roh jahat yang merusak hubungan antara Allah dan manusia.
Baik Perjanjian Lama ataupun Perjanjian Baru juga memberikan kesaksian tentang perjalanan spiritualitas Umat Allah. Dalam tradisi Israel, spiritualitas adalah hidup di dalam kerangka karya keselamatan Allah bagi umat-Nya dalam sejarah umatNya. Sejarah karya keselamatan Allah tersebut direfleksikan di dalam iman persekutuan umatNya dan di dalam liturgi, dan dipusatkan di kuilNya. Tiap individu menjadi berhubungan dengan sejarah dan identitas sebagai Umat Allah di dalam kehidupan ibadahnya. Dimana di dalam ibadah tersebut terekspresikan permohonan, pujian, ucapan syukur, dan penyesalan dosa.[2] 
Ibadah dalam tradisi Israel mengkonsepkan bahwa Tuhan adalah Dia yang memasuki hubungan diagologis dengan umatNya. Dia diyakini memperhatikan apa yang dibutuhkan umatNya; marah akan dosa umat; bahkan membuka berubahnya pemikiran umatNya (Kel. 32:7-14; Bil. 14:13-25; 1 Sam. 8:4-22). Dalam spiritualitas umat Israel, fokus utamanya adalah kehadiran Allah dalam hidup mereka. Namun Allah juga dapat tidak hadir dalam hidup mereka. Sehingga, fokus utama itu juga akan merujuk kepada kepatuhan kepada Hukum Allah. Hukum itu adalah ekspresi kehendak Allah dan kehendakNya kepada umat sebagai jalan kepada seluruh ciptaan. Pemenuhan kehendak Allah itu adalah nyatanya kehadiran Allah. Oleh karena itu, orang Israel akan  belajar dan memelihara HukumNya (Ul. 6:4-9)[3]
Spiritualitas umat Kristen diawali dari titik penebusan dosa di dalam Kristus. Kita dibaptiskan di dalam Kristus, dimana sebagai orang berdosa orang Kristen ditebus dan menjadi ciptaan baru (Rom.6: 3-11; 2 Kor. 5:17). Spiritualitas yang sesungguhnya bukanlah program seseorang ataupun bagaimana seseorang mencoba untuk membenarkan dirinya sendiri (Gal. 2:15-21). Tetapi dimulai dari panggilan Allah, lahir baru, pertobatan (Yoh. 3:3-4, Kis. 2:38-39). Dalam hal ini, maka Spiritualitas Kristen juga bicara tentang kekudusan.
Spiritualitas juga akan dikaitkan dengan kekuatan cinta dari hidup. Dengan cinta kasih sayang tersebut, setiap ciptaan akan berhubungan dengan ciptaan yang lain, yang mana tidak hanya hidup; tetapi ingin hidup.[4] Dengan dimensi spiritualitasnya, maka manusia tidak hanya bicara bagaimana ia hidup; tetapi juga bagaimana orang lain hidup; dan bagaimana ia hidup bersama orang lain. Tetapi itu bukanlah dengan kekuatan manusia sendiri.  Sebagai akarnya adalah kehidupan orang Kristen dengan dimensi spiritualnya, yang merujuk kepada penghidupan praktik peribadahan.[5] Dari sini, maka dimensi spiritualitas orang Kristen akan mempengaruhi bagaimana hubungan antara Roh dan daging. Dimana orang-orang Kristen tetap akan menghadapi konflik dengan daging. Konflik dengan daging itu adalah konflik dengan dosa. Ada baiknya, jika akan selalu ada perjuangan untuk bisa memenangkan konflik tersebut, jika memiliki tingkatan spiritualitas yang tinggi.
Dalam hal ini, spiritualitas dalam pemahaman yang demikian adalah sebuah proses. Proses itu sendiri serupa dengan spiritualitas Yahudi, yang diformulasikan membaca dan mendengar, dan menghidupi kasih. Fokus orang Kristen seharusnya adalah totalitas penyembahan kepada Allah (Mat. 6:33), dan itu membutuhkan Kasih Allah dan respon manusia secara totalitas di dalam pengorbanan dan transformasi akal budi (Rom. 12:1-2). Kebangkitan dan pemeliharaan fokus utama tersebut dapat dicapai dengan membaca kitab suci, meditasi, doa, puasa, kehadiran dalam gereja, bersedekah dan melayani sesama.[6] Sehingga Spiritualitas Kristen bicara tentang bagaimana menghayati perjumpaan dengan Kristus dengan menunjuk bagaimana cara kehidupan kristen dijalani dan bagaimana praktek penyembahan dikembangkan untuk membantu menumbuhkan dan melanggengkan hubungan dengan Kristus, di tengah-tengah dinamika hidup dengan segala pergumulannya. Dengan harapan terjadinya perubahan hidup dalam sikap tindak dan perilaku yang menuju kepada pertobatan dan buah-buahnya. [7]
2.2  Ibadah Kristen
Kata Ibadah, sebenarnya lebih dekat pada artian “mengabdi pada”. Kata tersebut menyangkut bukan hanya upacara agama, melainkan seluruh hidup. Kata Ibadah berasal dari bahasa Ibrani “abodah”, dengan akar kata “abad” yang berarti “bekerja atau abdi”. Dalam penggunaan katanya menunjuk pada “melayani seorang atasan atau tuan/nyonya”. Dengan demikian kata abodah dapat berarti “ibadah” atau “pekerjaan seorang hamba”.[8] Kata Ibadah diartikan dengan memberikan penghormatan kepada Allah sebagai Pencipta, Penyelamat, dan Pengudus. Ibadah Kristiani meliputi pujian, syukur, penyerahan diri, tobat, dan doa permohonan.[9] Adapun Kata Ibadah berasal dari bahasa Inggris Kuno weorthscipe, yang secara harafiah berarti memberikan penghormatan atau penghargaan kepada seesorang.
Ibadah juga tentu ada kaitannya dengan Liturgi. Kata Liturgi berasal dari Yunani yaitu Leitourgia (leos : rakyat & ergon: kerja) yang berarti kerja bakti yang dilakukan penduduk kota. Pada zaman itu liturgi berarti apa yang dibaktikan seseorang bagi kepentingan kehidupan bersama. Kemudian Liturgi juga berarti pajak yang dibayar oleh warga negara. Sekitar tahun 300 S.M, kata liturgi mendapat arti yang lain, yakni ibadah dalam kuil. Beberapa ratus tahun kemudian para pengarang Perjanjian Baru memakai kata liturgi untuk ibadah atau kebaktian kepada Tuhan. Dalam Kisah Para Rasul 13.2 tertulis : “Pada suatu hari ketika mereka beribadah (leitourgounton) kepada Tuhan . . .” Dari situ kita sekarang mengenal kata liturgi dalam arti tata Ibadah.[10]
Ibadah juga merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dan berbeda dengan kegiatan yang biasa kita lakukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Ibadah Kristen adalah sejenis ibadah yang sangat kuat berlandaskan pada pengaturan waktu untuk membantu ibadah tersebut dalam memenuhi maksudnya. Ibadah Kristen adalah penyataan diri Allah sendiri dalam Yesus Kristus dan tanggapan manusia terhadap-Nya. Kalimat itu mempunyai dua kata kunci yaitu “penyataan” dan “tanggapan”. Di tengah keduanya adalah Yesus Kristus yang menyingkapkan Allah kepada kita dan melalui siapa kita membuat tanggapan kita. Ini adalah suatu hubungan timbal balik dimana Allah mengambil inisiatif dalam mencari kita melalui Yesus Kristus dan kita menjawab melalui Yesus Kristus dengan menggunakan emosi, kata-kata dan bermacam-macam perbuatan. Jadi Allah sendirilah yang membuat ibadah itu suatu kemungkinan: “Pemberian Allah mengundang penyembahan manusia kepada Allah”. Ibadah adalah penampakan diri Gereja, yang karenanya Gereja mendapatkan identitas dirinya dalam ibadah karena hakikatnya yang riil dijadikan nyata dan Gereja dituntun untuk mengakui keberadaannya sendiri yang sebenarnya.[11]

2.3  Pujian dan Penyembahan
Pujian dan penyembahan merupakan suatu istilah yang sering kita dengar di antara jemaat Tuhan. Hal ini sering kali dihubungkan dengan pelayanan musik. Di satu sisi memang hal ini benar, tetapi di sisi lain, ada beberapa hal yang perlu diketahui, sehingga pemahaman kita terhadap apa yang disebut dengan pujian dan penyembahan menjadi lebih lengkap.[12] Pujian bukanlah konsep yang sulit dimengerti, karena ia adalah bagian hidup kita sehari-hari. Pujian adalah sesuatu yang kita tujukan langsung kepada Tuhan atau sesuatu yang yang kita ungkapkan kepada orang lain mengenai Tuhan. Terkadang pujian diartikan dengan konsep yang sederhana, yaitu membanggakan, memberi tepuk tangan, menunjukkan rasa kagum atau senang terhadap, mengelu-elukan dengan kata-kata atau nyannyian, membesarkan, memuliakan.[13] Perlu disadri bahwa pujian dan penyembahan bukan hanya merupakan satu gerakan dalam alam gerakan pikiran kita saja, tetapi juga merupakan suatu tindakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Pujian dan penyembahan akan mempengaruhi kehidupan seseorang, yakni bagaimana seseorang bertingkah laku. Dalam pujian dan penyembahan, perubahan gaya hidup dan karakter seseorang akan semakin nyata mengarah kepada keserupaan terhadap Kristus.[14]
Dalam Roma 15:11, Tuhan mengatakan “Dan lagi: pujilah Tuhan, hai kamu semua bangsa-bangsa, dan biarlah segala suku bangsa memuji Dia”. Kata pujian atau praise merupakan terjemahan dari bahasa Ibrani dan Yunani. Pujian diartikan sebagai sesuatu tindakan memuji yang diekspresikan secara sungguh-sungguh, yang berdasarkan keadaan suatu objek. Pujian itu adalah sebuah tindakan. Pujian bukan hanya perasaan, tetapi pujian merupakan sesuatu yang dilakukan oleh seseorang. Jika kita hanya berpikir untuk memuji, hal tersebut belumlah memuji. Memuji yang sebenarnya adalah disertai dengan adanya perlakuan pujian yakni suatu tindakan yang nyata. Bila kita memuji Tuhan, maka jelaslah pujian tersebut harus merupakan suatu tindakan. Pujian yang diberikan harus berasal dari kesungguhan dan ketulusan hati. Bukan pijian yang basi-basi. Pujian adalah merupakan benar-benar pujian apabila dinyatakan dari dalam hati yang paling dalam. Pujian bukanlah kata-kata yang tanpa arti sesungguhnya. Apalagi kalau pujian itu tidak tulus seperti yang dilakukan para serdadu wali negeri yang mengolok-olok Yesus dan berkata “Salam, hai Raja orang Yahudi” (Mat 27:29).
Allah tidak memerlukan pujian yang munafik dan basa-basi, melainkan Dia merindukan agar anak-anak-Nya dapat memuji Dia dengan sepenih hati. Pujian yang keluar dari hati yang tahu akan kebenaran ucapannya merupakan dupayang harum bagi Allah. Terkadang kita sebagai jemaat Allah menyanyi dalam ibadah di Gereja telah diartikan bahwa kita sedang memuji Allah. Namun, perlu diingat, jika kita bernyanyi hanya karena pemimpin pujian menyuruh kita bernyanyi atau karena kita sebagai orang Kristen sudah menjadi bagian dari liturgi Gereja, sehingga nyanyian tersebut menjadi rutinitas yang harus dilakukan dalam ibadah, maka sudah dapat dipastikan bahwa kita sedang memuji dalam arti yang sebenarnya.[15]
2.4  Peran Ibadah Terhadap Spiritualitas
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, spiritualitas orang Kristen akan bicara tentang bagaimana orang Kristen berproses dalam menghayati perjumpaan dengan Kristus dengan menunjuk bagaimana cara kehidupan kristen dijalani dan bagaimana praktek penyembahan dikembangkan untuk membantu menumbuhkan dan melanggengkan hubungan dengan Kristus, di tengah-tengah dinamika hidup dengan segala pergumulannya.
Orang Kristen secara nyata patutlah untuk menjalani hidup menuju pertobatan dan mencapai kekudusan di dalam segenap gerak langkah hidupnya. Dengan spiritualitasnya, orang Kristen menjadi taat kepada Allah dari hatinya. Orang Kristen tidaklah hanya berpikir tentang bagaimana ia hidup; tetapi juga bagaimana ia hidup bersama orang lain. Dan spiritual orang Kristen dapat menentukan bagaimana ia dapat hidup seperti yang demikian. Namun jatuh bangun dalam menjalani hidup seperti akan selalu terjadi. Maka untuk itu, Allah tidak akan membiarkan orang Kristen sendirian.[16]
Setiap orang di dalam sebuah komunitas atau lingkungan, dapat kapan saja mengalami kerusakan hubungan. Tiap orang memiliki permasalahan dalam dinamika kehidupannya. Terkadang masalah itu datang dari orang lain; atau datang dari diri sendiri. Dan masalah-masalah itu, bisa menyebabkan terjadinya gangguan dalam relasi sosial seseorang dengan orang lainnya. Sehingga semakin memperbesar ketidakbahagiaan serta menambah banyak persoalan.
Di tengah situasi yang demikian, terjadilah kesukaran setiap orang, khususnya orang Kristen untuk benar-benar dapat memahami Tuhan dan kehendakNya di dalam pengalaman hidup. Pemahaman tentang Tuhan dan iman, mungkin sudah menjadi sebuah pengetahuan konseptual; tetapi tidak di dalam praktiknya. Keselamatan seharusnya dibuahkan di dalam keseharian, melalui pertobatan dan perjuangan bersama Tuhan untuk mencapai kekudusan, melalui penghidupan Firman dan Suri Teladan Kristus. Tetapi bisa saja terjadi kendala, dimana secara riil, Firman Tuhan tidak mendapat tempat untuk dibuahkan di dalam pengalaman. Dalam rangka itulah, spiritualitas orang Kristen penting untuk ditumbuhkembangkan, demi mencapai orang Kristen yang cerdas spiritual. Orang Kristen yang cerdas spiritual akan mudah menghantar dirinya ke arah positif dalam berbagai situasi yang ada, dimana dia sudah memiliki kesadaran yang mendalam akan hidup yang berarti dan sejati. Ia dapat menentukan untuk dapat bertindak baik atau jahat; baik atau buruk; bijaksana atau tidak bijaksana. Orang yang cerdas spiritual dapat mengenali dirinya sendiri; jujur pada dirinya; dan mengendalikan dirinya sendiri. Ia juga peka kepada orang lain dan lingkungannya, serta tenang dalam menghadapi situasi yang berganti-ganti.[17]
Intinya orang yang cerdas spiritual akan sangat menikmati hubungannya dengan Tuhan, berkomitmen dan berdedikasi di dalam iman yang kuat. Ia akan memahami kehendak Allah dalam hidup dan akan tulus untuk bisa hidup dengan iklas, adil, mengampuni, suka memberi, belas kasih, bijaksana, dan tanggungjawab yang tinggi. Ia akan mengutamakan sikap saling mengasihi, memelihara dan membimbing. Hal yang terpenting untuk meningkatkan kecerdasan spiritual adalah kesadaran atas diri sendiri. Sadar sepenuhnya tentang tugas dan tanggungjawabnya sebagai ciptaan Tuhan, dengan segala kekuatan dan kekurangannya. Kecerdasan spiritual dapat dikembangkan dengan mendalam nilai-nilai spiritual, melatih kesadaran mendalam akan makna, visi, dan tanggungjawab kehidupan. Dan melatih untuk tidak berbuat sesuatu demi dirinya sendiri; melainkan untuk orang lain.
Dan sesuai dengan yang sudah disebutkan sebelumnya, kesadaran diri tersebut berakar dari praktek peribadahan untuk mengembangkan spiritualitas/kecerdasan spiritual orang Kristen. Dan menghidupi ibadah harian dapat menjadi salah satunya. Orang Kristen tidak dapat memisahkan ibadah harian, sebab ibadah harian membawa kepada fokus menyerahkan seluruh hari kita kepada Allah. Gaung dari ibadah Minggu dilanjutkan gemanya setiap hari oleh orang Kristen. Ibadah akan membawa orang Kristen untuk berkomunikasi dengan Allah di dalam Doa Pujian dan Permohonan.
Ibadah atau doa dapat dipraktikan dalam suasana komunal ataupun pribadi. Mungkin dapat dihidupi setiap hari. Meskipun saat ini, kehidupan seolah memaksa orang Kristen untuk lebih fokus untuk kehidupan duniawinya, namun tetap penting untuk tidak melupakan pembangunan dan pengembangan spiritualitasnya, yang dapat menunjang bagaimana dirinya menjalani kehidupan duniawinya. Kedispilinan membaca, mendengarkan Firman Tuhan serta berdoa dapat menjadi sumber kekuatan dan pengetahuan untuk membuka dan memurnikan hati ini, yang nantinya akan membantu mengarahkan pikiran, sikap dan tindakan seturut dengan FirmanNya.
Ibadah juga dapat berperan dalam pembentukan hati nurani yang seturut dengan Firman Tuhan. Dengan displin menghidupinya, maka hati nurani akan terlatih untuk mensejajarkan penilaian terhadap pikiran, perkataan, sikap dan tindakan kita. Apabila menghabiskan waktu secara teratur dengan Allah dalam membaca Alkitab dan merenungkannya serta berdoa, maka seseorang akan menjadi heran bagaimana hati ini menuntun dalam kehidupan.[18] Ibadah dapat lebih membawa peranan yang kuat dalam kaitannya dengan spiritualitas atau kecerdasan spiritual, apabila dilakukan dalam keseriusan dan memang hati kita tertuju kepada Allah. Dengan itu, maka manusia dapat membebaskan pikiran dan imajinasi untuk terfokus dan terpusat pada hadirat Allah yang Hidup (Maz. 46:10).[19]

III.             KESIMPULAN
1.       Spiritualitas Kristen bicara tentang bagaimana orang Kristen berproses dalam menjalani kehidupannya di dalam ketaatan dari hati kepada Allah dan kasih kepada sesamanya;
2.       Dengan kehidupan spiritualnya, orang Kristen dapat menjadi pribadi yang penuh kasih; peka terhadap orang lain dan lingkungan; tenang dalam menghadapi berbagai situasi, serta sikap dan tindakan positif lainnya;
3.       Spiritualitas orang Kristen dapat dibangun dan dikembangkan melalui kedisplinan menghidupi ibadah. Dimana ibadah dapat sumber kekuatan dan pengetahuan untuk membuka dan memurnikan hati serta membantu mengarahkan pikiran, sikap dan tindakan seturut dengan FirmanNya;
4.       Ibadah dapat dihidupi dalam keseharian di lingkungan keluarga ataupun secara pribadi, di dalam keheningan dan penghayatan yang dalam. Serta patut dihidupi bersamaan dengan lingkup spiritual Kristiani lainnya. 






DAFTAR PUSTAKA

Carl Schultz, “Spirit”, dalam Baker Theological Dictionary (Ed. Walter A. Elwell), Michigan: Baker Books, 1996.

Allister E. McGrarth, Spiritualitas Kristen, Medan: Bina Media Perintis,  2007.

Dennis, L. Okhlom, “Spirituality”, dalam Baker Theological Dictionary (Ed. Walter A. Elwell), Michigan: Baker Books, 1996.

Juergen Moltmann, The Spirit of Life, Minneapolis: Fortress Press, 1992.

“Spirituality”, dalam The Concise of the Christian tradition (Ed. J.D. Douglas, W. Elwell, Peter Toon), Zondervan Publishing Company, 1989.

Christoph Barth, Teologi Perjanjian Lama 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.

Gerald O’Collins & Edward G. Farrugia,  Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Andar Ismail, Selamat Berbakti, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.

James F. White, Pengantar Ibadah Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.

John Halim, Pujian dan Penyembahan dalam 24 Jam, Malang: Gandum Mas, 2005.

Bob Sorge, Mengungkap Segi Pujian dan Penyembahan, Yogyakarta: Andi Offset, 2010.

Theo Riyanto & Martin Handoko. Membangun Hidup Religius Yang Damai dan Sejahtera, Yogyakarta : Kanisius, 2008.

Jerry White, Kejujuran, Moral dan Hati Nurani, Jakarta: BPK Gunung Muia, 2000.



[1] Carl Schultz, “Spirit”, dalam Baker Theological Dictionary (Ed. Walter A. Elwell), Michigan: Baker Books, 1996: 744.
[2] Dennis, L. Okhlom, “Spirituality”, dalam Baker Theological Dictionary (Ed. Walter A. Elwell), Michigan: Baker Books, 1996, 744.
[3] Dennis, L. Okhlom, “Spirituality”, 746.
[4]   Juergen Moltmann, The Spirit of Life, Minneapolis: Fortress Press, 1992, 86.
[5]   “Spirituality”, dalam The Concise of the Christian tradition (Ed. J.D. Douglas, W. Elwell, Peter Toon), Zondervan Publishing Company, 1989, 358.
[6]  Dennis, L. Okhlom, “Spirituality”, 747.
[7]  Allister E. McGrarth, Spiritualitas Kristen, 2.
[8] Christoph Barth, Teologi Perjanjian Lama 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010. 44
[9] Gerald O’Collins & Edward G. Farrugia,  Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996, 109
[10]Andar Ismail, Selamat Berbakti, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008, 32
[11] James F. White, Pengantar Ibadah Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002, 7-9.
[12] John Halim, Pujian dan Penyembahan dalam 24 Jam, Malang: Gandum Mas, 2005, 9.
[13] Bob Sorge, Mengungkap Segi Pujian dan Penyembahan, Yogyakarta: Andi Offset, 2010, 1-2.
[14] John Halim, Pujian dan Penyembahan dalam 24 Jam, 10.
[15] John Halim, Pujian dan Penyembahan dalam 24 Jam, 10-11.
[16] Theo Riyanto & Martin Handoko. Membangun Hidup Religius Yang Damai dan Sejahtera, Yogyakarta : Kanisius, 2008, 15
[17] Theo Riyanto & Martin Handoko. Membangun Hidup Religius Yang Damai dan Sejahtera, 59
[18] Jerry White, Kejujuran, Moral dan Hati Nurani, Jakarta: BPK Gunung Muia, 2000, 32.
[19] Allister E. McGrarth, Spiritualitas Kristen, 164. 

19 Oct 2017

Hukum Pembalasan (Lex Talionis)


(Memahami hukum “mata ganti mata” pada Keluaran 21: 22-25)  

I. PENDAHULUAN
Dalam Perjanjian Lama tepatnya pada Keluaran 21: 22-25 dikenal dengan Lex talionis  yang diartikan oleh beberapa orang sebagai hukum pembalasan, juga dikenal dengan hukum “mata ganti mata”. Hukum ini sering dikutip sebagai hukum-hukum yang kejam dan tidak berbelas kasihan. Ini dikarenakan persoalan dalam memahami hukum tersebut secara harafiah, ditambah lagi beberapa ilmuwan yang percaya bahwa hukum dalam Pentateukh yang dinyatakan bersifat barbar, yang menggambarkan sikap primitif.  Namun yang menjadi pertanyaan yang dikemukakan hukum tersebut adalah apakah bagaimana ketentuan hukum pembalasan ini berlaku? Namun beberapa penafsir menekankan bahwa pengesahan hukum ini tidak pernah dimaksudkan untuk mengizinkan setiap orang membalaskan cedera/ luka (Keluaran 21: 1- 22: 17). 
Maka itu, dalam tulisan ini, penulis mencoba melihat secara dekat, bagaimana dan seperti apa sebenarnnya dalam memahami hukum mata ganti mata ini sebagai hukum yang melindungi, bukanlah menjadi hukum yang mengizinkan tindak balas dendam, atau praktiknya yang secara harafiah yang justru menambah tindak kejahatan. Namun dalam pengerjaan tulisan paper ini, penulis mengakui bahwa belum secara sempurna menjelaskan Judul ini, dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis, dan juga literature untuk pengerjaan paper ini.

II. Kajian Biblis tentang Hukum Pembalasan
2.1 Pembalasan
Istilah pembalasan dalam etimologi yang ditekankan adalah membayar dalam bentuk yang sama. Meskipun dalam kehidupan manusia secara eksklusif yang terjadi dalam bentuk yang buruk yaitu seperti kejahatan dibalaskan dengan kejahatan atau pukulan dibalaskan dengan pukulan. Namun dasar dari suatu pembalasan sebenarnya lebih menekankan hal yang sifatnya memperbaiki secara timbal balik, yang baik agar kembali baik, dan bahkan digunakan untuk mengubah kejahatan menjadi hal yang baik. Dari sudut pandang etis, menafsirkan hukuman sebagai retribusi, dimana tindakan jahat seseorang harus dikembalikan kepadanya sendiri. Dia harus menerima sanksi yang adil dari perbuatannya kepada masyarakat atau korban yang terluka sebagai kompensasi. 

2.2 Pendekatan terhadap Pembalasan
  Adapun beberapa tafsiran yang menyatakan, mengenai penerapan Lex Talionis ini yang dikutip Stuart, dari seorang Teolog Yahudi yang bernama Maimonides yang meyakini Lex Talionis dalam Keluaran 21:22-25, untuk tidak dipahami secara harafiah. Untuk Pembenaran dalam pernyataannya, dia mengacu pada penggunaan kata Ibrani תַּ֣חַת (takhat) yang dikutip dari Keluaran 21: 22-25 dan juga melihat pada dua ayat yang sebelumnya yaitu di ayat 18-19 yang termasuk dalam kelompok hukum yang sama, yang secara khusus menyebutkan konsep kompensasi ganti rugi (mengenai bayaran untuk pengobatan sampai sembuh). Mengenai ungkapan עַ֚יִן תַּ֣חַת עַ֔יִן  “mata ganti mata” pada Keluaran 21: 24, Maimonides menjelaskan: kata  תַּ֣חַת menunjukkan bahwa pembayaran harus dilakukan,dan tidak boleh dipahami secara harafiah. Hal ini di terlihat pada frasa “luka ganti luka” yang harus diartikan sebagai pembayaran, karena dalam Keluaran 21:18-19 dinyatakan bahwa jika seorang melukai orang lain, ia harus membayar untuk kehilangan waktu dan untuk keperluan pengobatannya. Dari sini penggunaan kata תַּ֣חַת  dalam kaitannya dengan melukai, juga digunakan sebagai pembayaran, maka ungkapanעַ֚יִן תַּ֣חַת עַ֔יִן  ayin takhat ayin [mata untuk mata] harus digunakan dalam arti yang sama yaitu sebagai pembayaran.  


2.3 Ketentuan mengenai Hukum Pembalasan dalam Kel. 21:22-25
Keluaran 21: 22-25 menjelaskan mengenai apa yang harus dilakukan ketika melihat kejadian yang mungkin tidak biasa. Jika pria berkelahi, dan saat berkelahi, melukai wanita yang sedang hamil, sehingga menyebabkan wanita tersebut keguguran, tetapi tidak ada luka pada wanita tersebut. Maka pelaku atas luka itu didenda sejumlah yang dikenakan suami wanita tersebut, namun atas pertimbangan yang ditentukan hakim. Kita bisa melihat kerusakan yang akan dibayarkan itu hanya atas keguguran. Tetapi jika korban (wanita) terluka atau meninggal akibat cedera tersebut, hukum pidana yang dikenal sebagai Lex Talionis harus diterapkan dan pelaku dihukum karena itu.  Mengenai orang yang bertanggung jawab atas kematian itu harus dihukum mati (ayat 23). Ketentuan ini adalah contoh paling awal dari Lex Talionis atau hukum pembalasan. Namun, jika wanita tersebut meninggal, tetapi pria atau pelaku yang bertanggungjawab tidak berkenan untuk mati, dia harus bertanggungjawab atas konsekuensi perbuatannya, berdasarkan ketentuan yang berlaku, jika wanita hamil tersebut tidak mati, tapi hanya mengalami luka yang berbekas, pelaku bertanggungjawab atas cedera yang alami wanita tersebut dengan harus mengalami cedera yang serupa. “Mata ganti mata, Gigi ganti gigi”, Dalam kasus tersebut hukuman mati tidak berlaku. Jika wanita tersebut bertahan dan tidak mengalami kerusakan atau cedera.  

Insiden pada Kel. 21:22-23 juga, menggambarkan situasi seorang wanita hamil menjadi korban kemarahan. Dalam menentukan sikap, Houtman melihat bahwa ketentuan pada Kel. 21: 12 dan 21:18-19 juga berlaku dalam kasus ini. Dengan mempertimbangkan konteks teks, Kel. 21:12-14, 18-19 yang berisikan peraturan khas yang ditujukan kepada orang-orang yang dibahas dalam situasi yang sama di Kel. 21:22. Pada titik ini Houtman membuat beberapa catatan tentang hubungan antara ketiga bagian tersebut. Tetapi Menurut Schwienhorst-Schönberger yang dikutip Houtman dalam artikelnya, mengatakan bahwa dalam Kel. 21:22-23 tidak sama dengan ayat 12-14 dan 18. Karena itu bukanlah suatu kecelakaan yang disengaja. Namun yang menjadi permasalahan bukanlah sengaja atau tidaknya, melainkan fokus terhadap kerusakan yang terjadi, dan bagaimana untuk mencapai keputusan yang dicapai.  Jackson juga dengan tegas berpendapat bahwa ayat 22 menetapkan pembayaran atas keguguran janin,  dan selanjutnya untuk luka yang terjadi pada wanita harus bersifat pembalasan.  Ada asumsi bahwa Kitab Perjanjian mengecualikan hukuman pembalasan fisik sebagai pembaharuan hukum dalam hukum ganti rugi, dan ini diterapkan hanya pada kasus cedera fisik dan kematian. Namun ada suaka hukum yang membatasi, pada Kel. 21:13 yang membuka kemungkinan bertahan hidup jika terjadi kecelakaan atau kematian yang tidak disengaja. 

Pada ayat 23-25, menurut Josephus, Pada penafsiran Rabinis, mengenai “mata ganti mata” dan lainya, mengacu pada remunerasi nilai mata, dan sebagainya dalam bentuk uang. Beberapa penafsir juga percaya bahwa Kel. 21:23-25 tidak harus dipahami secara harafiah, namun merupakan remunerasi atas nilai kehidupan yang terpengaruh. Namun F. Crüsemann dan Schenker dalam tulisan Houtman, memiliki pendapat yang berbeda. Menurut mereka ayat 23 mengacu pada eksekusi yang harafiah.  Crüsemann menganggap ayat 24 sebagai perpanjangan teks, hasil kritik sosial yang ditunjukkan untuk melawan penyalahgunaan ketentuan hukum kasuistik dari Kitab Perjanjian, yaitu pada abad ke-8, dimana orang-orang yang berkuasa dengan harta melimpah memperlakukan orang-orang lemah sesuka hatinya, karena dapat diselesaikan hanya membayar dengan uang.  Hukum ini untuk waktu yang lama menjadi hukuman yang primitif yang bersifat hukum barbar. Namun telah ditunjukkan oleh studi komparatif yang lebih baru untuk mengembangkannya kemudian, yang dirancang untuk memperbaiki penyalahgunaan yang tak dapat dihindarkan mengenai pembayaran uang untuk cedera fisik. 

Para Rabi selanjutnya memodifikasi hukuman dalam kasus Alkitabiah, jika wanita itu sendiri meninggal. Bagi para rabi, konsekuensi yang dinyatakan dalam Kel. 21: 22-25, harus mengatur hukuman נֶ֖פֶשׁ תַּ֥חַת נָֽפֶשׁ  nephesh tahat nephesh (nyawa ganti nyawa) tidak akan ditafsirkan sebagai hukuman mati, selama tindakan yang dilakukan tidak ada maksud atau unsur kesengajaan. Dalam situasi ini, “nyawa ganti nyawa” paling baik hanya menunjukkan kompensasi moneter. Para Rabi dengan demikian mengurangi konsekuensi dari pelaku yang sebelumnya menerima kematian karena pembunuhan tidak disengaja, sebab ini dipandang tidak adil. Seperti yang kita ketahui di atas, bahwa zaman alkitabiah tidak mengenali perbedaan yang disengaja dan tidak disengaja. Bahkan orang yang membunuh tidak sengaja, bisa kehilangan nyawanya dengan tindakan dari Pembalasan yang dapat dibenarkan. 

Ada sejumlah argumen yang mendukung interpretasi figuratif. Pertama, mengenai penerapan lilteral dari maksud Lex Talionis, tidak sesuai dengan prinsip dan hasil hukum lainnya pada Kel. 20:22- 23-33. Seperti pada Kel. 21:18-19 misalnya, yang menyajikan kasus yang lebih serius, kasus luka yang disengaja yang berbeda dengan kasus di Kel. 21:22-25. Hukum disana bukanlah untuk menyerang pelaku dan melukainya dengan cara yang sama persis, namun membayar biaya pengobatan dan waktu yang hilang dari korban. Begitu juga dalam Kel. 21:26-27, mengenai hukuman atas tindakan memukul mata atau gigi seorang budak, pembalasan atau ganjaran yang diberikan juga tidak memukul mata atau gigi tuannya, tetapi tuannya melepaskannya menjadi budak yang bebas, sebagai ganti giginya yang hilang. Selanjutnya Sprinkle juga menekankan bahwa hukuman atas “nyawa ganti nyawa” secara harafiah dalam kasus pembunuh yang tidak sengaja di Kel. 21:22-25, bertentangan dengan prinsip yang diungkapkan Kel. 21:13-14 yang mengatakan bahwa bila pembunuhan itu tidak sengaja, itu bukanlah pelanggaran yang berat. 

III. Kesejajaran Lex Talionis (Exod. 21:22-25) dengan Tradisi dan Hukum Kuno.
3.1 Hukum Kuno
Hukuman atas luka pada Kel. 21: 22-25, memiliki kesejajaran dengan Tradisi dan Hukum Kuno. Sebagai contoh yang paling awal dari Sumeria Scribal, Undang-undang ini menarik karena membedakan tingkat tanggungjawab pelaku berdasarkan tingkat keparahan kontak fisik. Tolak ukur seperti ini tidak lagi dipertahankan atau dikaji kembali dalam formulasi hukum Timur Kuno. 
Kemudian, Nahum M. Sarna dalam tulisan Stuart, dengan yakin menunjukkan bahwa undang-undang Mesopotamia pra-Alkitabiah menentukan kompensasi uang untuk luka pada tubuh, bukanlah hukum fisik. Dia mengacu pada berbagai contoh yang semuanya dapat di temukan James B. Pritchard dalam Teks Kuno dekat Timur.

a. Laws of Eshnunna (2000 S.M) memberikan kompenasasi moneter untuk luka-luka pada paragraph 42-45:
42If a man bites the nose of another man and severs it, he shall pay one mina of silver. For an eye he shall pay one mina of silver; for a tooth half a mina; for a ear half a mina; for a slap in the face ten shekels of silver .43If a man severs another man’s finger, he shall pay two-thirds of a mina of silver. 44If a man throws another man to the floor in an altercation and breaks his hand, he shall pay half a mina of silver. 45If he breaks his foot, he shall pay half a mina of silver 
Terjemahan Bebas :
Jika seseorang melukai hidung orang lain dan memotongnya, ia harus membayar satu mina perak. Untuk mata dia harus membayar satu mina perak; untuk gigi setengah mina’ untuk telinga setengah mina; untuk tamparan di atas muka sepuluh syikal perak.
Jika seseorang pria memotong jari orang lain, dia harus membayar dua pertiga mina perak.
Jika seseorang melempar pria lain ke tanah dengan pertengkaran dan mematahkan tangannya, dia harus membayar setengah mina perak,
Jika dia mematahkan kakinya, dia harus membayar setengah mina perak.

b. Laws of Hammurabi (abad ke-18)
Hukum “Mata ganti mata, gigi ganti gigi”  ini juga ditemukan di dalam undang-undang Hammurabi.  Ke-282 paragraph pada undang-undang Hammurabi, tidak hanya menyangkut hukum-hukum kriminal, tapi banyak mengenai hukum perdata. Meskipun ada kecocokan antara undang-undang Hammurabi dengan Hukum Musa, namun nyata tidak ada peminjaman hukum Ibrani. Keterangannya terletak pada kesamaan umum kejahatan dan keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk hukuman. Dari undang-undang Hammurabi mungkin dapat diambil kesimpulan, bahwa Hammurabi mempunyai kesadaran yang kuat tentang keadilan dalam menjatuhkan suatu hukuman.  Namun ada sejumlah kesejajaran antara hukum dalam Kel. 21:23-25 dengan hukum Hammurabi, diantaranya adalah seperti berikut: 

Exodus 21:22-25 : 
22When men struggle and they knock a pregnant woman and her fetus comes out but there is no calamity, he shall be fined as the husband of the woman exacts from him, and he shall pay biplīlîm. 
23If there is calamity you shall give (= pay) life for life,24eye for eye, tooth for tooth, arm for arm, leg for leg,25burn for burn, injury for injury, wound for wound. 
Code Hammurabi :
209If an awīlum  strikes an awīlum-woman (literally: daughter of an awīlum) and he causes her to miscarry her fetus, he shall weight out ten shekels of silver for her fetus. 210If that woman dies, they shall kill his daughter.
196If an awīlum blinds the eye of a member of the awīlum class, they shall blind his eye. 197If he breaks the bone of an awīlum, they shall break his bone. 198If he blinds the eye of a commoner or breaks the bone of a commoner, he shall weigh out one mina (sixty shekels) of silver. 199If he blinds the eye of an awīlum’s slave or breaks the bone of an awīlum’s slave, he shall weigh out half of his value. 200If an awīlum knocks out the tooth of an awīlum of the same rank, they shall knock out his tooth. 201If he knocks out the tooth of a commoner, he shall weigh out one third mina (twenty shekels) of silver. 

Undang-undang pertama kedua pada dua bagian, menjelaskan wanita yang meninggal atau menderita luka. Korelasi ini menempatkan argument bahwa dalam rumusan sebelunya, kedua hukum Kitab Perjanjian hanya menyangkut status anak, dengan ayat 22 yang memperlakukan kelahiran premature, dan ayat 23 berurusan dengan keguguran. Hukum Balasan dalam ayat 23-25 harus dianggap sebagai bagian teks asli, seperti yang telah ditunjukkan. Kehadirannya membatasi interpretasi hukum pada keguguran dan memahami ayat 23 mengacu pada kematian wanita tersebut. Daftar hukum pada ayat 24-25 disejajarkan pada paragraph 196-201 dan sebagian pada motif cedera di paragraph 206. Hal ini menyebabkan daftar cedera yang melebihi konteks hukum pada keguguran dasar. Kitab Perjanjian menjelaskan yang utama adalah pada ayat 23-25, sambil memberikan penghakiman yang berkaitan dengan kematan wanita hamil di ayat 23, juga memperkenakan hukum umum tentang penerapan yang lebih luas. 

c. Middle Assyrian Laws, paragraph 50-53
Pada paragraph 50 Hukum ini berisi prinsip pembalasan, dengan memukul istri pelaku yang sedang hamil, sebagai sanksi telah memukul istri seseorang yang sedang hamil. Teks tersebut tidak memberitahukan kita, apa yang akan dilakukan pelaku tidak memiliki isteri.. Jika tidak memiliki istri, hukumannya akan menimpa pelaku secara langsung. Paragraph 50 menambahkan sebuah kasus tambahan yang tidak ditemukan di tempat lain, yang memungkinkan pengadilan untuk membunuh pelaku tersebut jika membunuh keturunan laki-laki (anak) dengan membuat istrinya keguguran. Dengan kata lain, ia menghilangkan calon ahli waris, dan ini merupakan pelanggaran berat. Ini menunjukkan betapa pentingnya seorang Asyria memiliki anak laki-laki. Dalam Hukum Asyur ini, kompensasi uang adalah hukuman biasa yang dibuat untuk keguguran. Seperti kasus alkitabiah, kita tidak melihat sejumlah ketentuan seperti dalam Hukum Hammurabi, melainkan perhitungan yang dinegosiasikan. 

3.2 Tubuh sebagai Properti
Menurut tradisi, sebagian besar orang Israel (70-95%) diyakini tinggal di desa-desa.. Oleh karena itu, konteks kehidupan utama mereka terletak pada pertanian. Kehidupan religius juga dilakukan dimana orang-orang  memiliki keterikatan emosional yang kuat di desa-desa. Semua orang di desa saling mengenal dengan baik, sering berkumpul baik dalam kegiatan sosial atau keagamaan. Karena mayoritas dari mereka adalah petani dan peternak, sehingga mereka bekerja sama di ladang juga peternak. Konteks kehidupan primer terletak pada masyarakat di desa dengan rata-rata populasi 50-100 orang. Mengingat konteks desa kecil, tindakan Lex Talionis secara praktik literal hampir tidak terjadi karena mereka saling mengenal satu sama lain dengan sangat baik. Namun peran dari Lex tetap ada,yaitu untuk menghindari tindakan balas dendam. Namun peran utamanya adalah mendukung keluarga korban dari segi ekonomi dengan kompensasi uang.   
  Dengan kata lain, perselisihan hukum akan ditangani kasus demi kasus dengan pertimbangan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini ada peran dari Ketua adat yang berfungsi untuk mengingatkan hukum adat atau tradisi. Dalam kasus perselisihan, mereka akan mengambil peran pihak ketiga sebagai penegak tradisi dan sebagai penengah perselisihan. Oleh karena itu hampir tidak mungkin untuk menerapkan Lex Talionis.  Namun akibat dari adanya  luka dan kehilangan anggota tubuh maka ada  pengurangan yang sama dalam ekonomi maupun dalam pertanian, yang bergantung pada kerja manusia dan hewan. Implikasinya adalah bahwa tenaga manusia harus ada. Karena itu, bagian tubuh seperti mata, hidung, tangan, dan kaki adalah penting bukan hanya untuk kehidupan fisik dan sosial tapi juga untuk tenaga kerja dan untuk bertahan hidup keluarga dan masyarakat. Jika satu mata hilang, itu akan mempengaruhi kemampuan kinerja seseorang, menjadi kerugian besar seorang individu dan keluarga juga. Realitas hidup ini membutuhkan semacam kompensasi untuk keluarga korban sehingga mereka bisa melanjutkan hidup mereka. Oleh karena itu, pembalasan yang sama dengan memotong tangan pelaku tidak membantu keluarga korban atau pelaku? Begitu juga dengan keluarga pelaku perlu menjaga kehidupan sosial dan ekonomi mereka meski sulit. Dengan situasi seperti ini Keluarga pelaku bisa dengan bijak mendekati masalah ini untuk setuju  membayar kerugian waktu, biaya medis dan untuk kerugian produksi ekonomi. Setiap kemungkinan pembalasan yang tidak diatur terhadap Hukum kompensasi adat bisa menimbulkan situasi perang dengan kebencian. Bila dilakukan pembalasan yang setimpal kepada pelaku maka akan sangat tidak tega bila keluarga korban melihat pelaku dengan tangan yang dipotong (dalam konteks komunitas yang dekat), situasi seperti itu hampir tidak tertahankan secara psikologis. Penerapan literal dari lex talionis dengan pembalasan yang sama bisa menjadi bentuk ketidakadilan lain dengan merusak keluarga lain atas nama pembalasan yang sama. Oleh karena itu dalam hal kompensasi Jika pelaku tidak memiliki cukup sarana untuk membayar, dia harus menjual satu tenaga kerja untuk memberi bayaran ganti rugi atas apa  yang ia lakukan. 

IV. Implikasi Teologi
Hukum “mata ganti mata” ini juga tertulis dalam Perjanjian Baru di Matius 5: 38-42. Hal inilah yang membuat khotbah dibukit ini sangat dikagumi dan sekaligus paling dicela yakni panggilan Yesus untuk memperlihatkan perilaku mengasihi secara total terhadap orang yang berbuat jahat. Hal ini adalah hal yang merupakan tantangan yang paling besar dari khotbah di bukit.  Hukum “mata ganti mata, gigi ganti gigi” yang disebutkan di dalam Matius 5:38 dan juga dalam Perjanjian Lama.   Hukum ini akan menjadi suatu perlindungan atau mendorong untuk tidak membalaskan suatu amarah. Hukum “mata ganti mata, gigi ganti gigi” mendorong untuk tidak membalaskan suatu amarah dijelaskan oleh Yesus dalam Matius 5:39-42.   Di dalam perkembangannya yaitu di dalam praktek atau pelaksanaannya hukum “mata ganti mata, gigi ganti gigi” sudah dilaksanakan secara harfiah dimana seorang yang melakukan kejahatan kepada kita, maka demikianlah yang akan kita balaskan kepada dia yaitu mata ganti mata, gigi ganti gigi. Jadi jika seorang diantara orang Yahudi  menyerang orang Yahudi lainnya dan mematahkan satu gigi dari padanya, maka sebagai hukumannya adalah satu gigi dari yang menyerangnya itu haruslah dipatahkan dan demikianlah seterusnya.  
Hingga menjelang zaman Yesus, pembalasan secara harfiah atas suatu kerusakan telah diganti dalam praktik hukum Yahudi  yaitu dengan denda atau uang sebagai ganti rugi. Bahkan hal seperti ini telah terjadi lebih dini dari zaman Yesus. Salah satu penyebab perubahan ini dikarenakan para ahli Taurat dan orang Farisi yang ternyata memperluas  prinsip dari hukum pembalasan ini yang dari ruang lingkup pengadilan, dibawa kepada kehidupan sehari-hari. Sehingga para ahli Taurat dan orang Farisi menggunakannya untuk membenarkan balas dendam secara individu, meskipun hukum secara tegas melarang “janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu” (Im. 19:18).  Padahal prinsip awal dari hukum ini adalah untuk memberantas balas dendam pribadi. Dengan tegas Yesus ingin menyatakan bahwa hukum “mata ganti mata” tidak boleh diterapkan dalam pergaulan pribadi dengan sesama manusia. Suatu hubungan pribadi dengan orang lain haruslah didasarkan pada kasih  bukan didasarkan pada keadilan.  Dalam situasi yang digambarkan dalam ilustrasi pada nats tersebut, Yesus mengatakan bahwa kewajiban kristiani adalah untuk mampu melindungi, menahan diri serta tidak menuntut balas. 

Dalam Praktek kehidupan sekarang, tentunya begitu banyak tindakan kejahatan yang terjadi, terutama kepada kekerasan fisik, bahkan hingga kematian dengan berbagai motif tertentu. Dalam setiap tindakan Kejahatan yang terjadi, kebanyakan korban tentu selalu menuntut keadilan, maka dari itu tak heran bila korban menuntut hukuman pelaku kejahatan atas segala tindakan yang merugikan. Dari sini tak menutup kemungkinan adanya tindakan penghukuman yang dilakukan secara individu atau atas keputusan sendiri dengan dasar balas dendam. Hal seperti inilah yang menimbulkan semakin banyaknya rantai tindak kejahatan berlangsung. Hukum pembalasan yang dimaksud bukanlah mengizinkan tindakan langsung dari korban terhadap pelaku. Melainkan hukum mata ganti mata ini ditujukan kepada hakim-hakim dalam memutuskan perkara secara adil dan tidak seenaknya dalam menentukan tuntutan hukuman. Peran hukum “mata ganti mata” adalah untuk mencegah dan meminimalisir tindakan kejahatan fisik dan juga balas dendam. Namun masih ada saja beberapa oknum yang mengutip hukum ini dari Perjanjian Lama secara harafiah dalam pemahamannya dan praktiknya, seperti mengizinkan tindak balas dendam dalam rupa kekerasan. Tetapi sebagai orang Krsiten kita tetap melihat kepada Injil, dimana Yesus telah mentrasformasikan hukum tersebut dengan dasar Kasih. Agar hidup kita antar sesama tetap terjalin dengan damai di dalam Kasih.

V. Kesimpulan
Secara singkat dapat dikatakan, bahwa untuk hukum pembalasan “mata ganti mata” ini sendiri, tentunya tidaklah dilakukan secara harafiah dalam praktiknya.  Ini merupakan sebagai acuan hukum, dan ditujukan kepada hakim agar memperhitungkan ganjaran atau sanksi kompensasi yang ditetapkan berpatok dan setara atas tindakan yang dilakukan tidak kurang dan lebih. Tujuan dari Hukum ini pun bukanlah memberikan kebebasan atau izin melakukan tindakan balas dendam. Melainkan sebaliknya untuk melawan dan mencegah adanya tindakan kekerasan dengan motif balas dendam. Kemudian juga dalam Perjanjian Baru lebih dipertegas Yesus dalam Matius 5:39-42, melalui ilustrasi yang ada Yesus mengatakan bahwa kewajiban Kristiani adalah untuk mampu melindungi, mengasihi, menahan diri serta tidak menuntut balas.   




VI. Daftar Pustaka
Browning, W. R. F,  Kamus Alkitab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.

De Heer, J.J, Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1:22, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.

Durham,John I., Word Biblical Commentary, vol 3, Texas: World Book Publisher, 1987.

Garner, Bryan A, A Dictionary Of Modern Legal Usage, United States: Oxford University Press, 1995.

Greengus, Samuel, Law in the Bible and in Early Rabbinic Collection, Eugene: Cascade Books, 2011.

Hiers,H, Justice and Compassion in Biblical Law, London: The Continuum International Publishing Group, 2009.

Kim, Yung S., “Lex Talionis in Exod 21: 22-25: Its Origin and Context”, The Journal of Hebrew Scripturest, The National Libraby of Canada : vol 6, 2006.

Leemans,W. F, The Old- Babylonian Merchant : His  Business and his social position, dalam Studi Et Documenta, vol. 3, Leiden: E..J. Brill, 1950.

Marthin,W,dkk, Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid I, Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011.

Smith, Armitage, “Retaliation” dalam Encyclopedia of religion and ethics Vol. X, New York: Charles scribners sons, 1955.

Sprinkle, Joe M, The Interpretation of Exodus 21:22-25 (Lex Talionis), Westminster Theological Journal 55, Toccoa Fall College, 1993.

Stott, John,  Khotbah di Bukit, Jakarta: Yayasan bina kasih, 2012.

Vervenne, M.(ed), Studies In The Book Of Exodus, Leuven: Leuven University Press, 1996,

West, Stuart A, ”The Lex Talionis In The Torah”, Jewish Bible Quarterly, vol 21, 1993.

Wright, David P, Inventing God’s Law, United Stade : Oxford University Press, 2009.

1 Sept 2017

SIKAP ETIS ORANG KRISTEN BATAK ATAS BUDAYA PEMBANGUNAN TUGU



BAB I
PENDAHULUAN
            Kebudayaan daerah dengan segala jenis corak dan gaya dari adat, seni, dan lainnya menjadi pembeda suatu suku dengan suku lain. Di penghujung abad XX ini, kesenian tradisional Batak khususnya seni patung tidak begitu banyak dibicarakan. Hal itu disebabkan patung-patung hasil karya peninggalan nenek moyang banyak yang sudah punah. Boleh disebabkan di daerah Batak pada umumnya sudah banyak yang memeluk agama Islam dan Kristen, sedangkan agama parmalim, yang menjadi kepercayaan awal suku Batak sudah jarang yang menganutnya. Kemungkinan-kemungkinan lain boleh jadi penilaian terhadap kesenian rakyat tradisional dianggap sudah tidak sesuai lagi dalam lingkungan masyarakat Batak yang hidup di zaman modern sekarang. Meski begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa masih ada saja suku Batak yang masih fanatik terhadap leluhurnya, seni patung berkembang terus dan bahkan menampilkan kembali leluhur nenek moyang, baik berupa patung atau tugu.[1]
            Dengan adanya tugu-tugu ini, pemujaan nenek-moyang ditanah Batak telah mendapat suatu perwujudan yang seharusnya mendapat perhatian kita. Sejak permulaan tahun limapuluhan jumlah tugu-tugu di tanah batak menanjak sedemikian mencolok, hingga ini dapat disebut sebagai bangunan dan suatu gerakan.[2] Orang-orang batak sekarang sepertinya hanya berlomba-lomba membangun tugu marga dan juga mengembangkan tugu masing-masing marganya, yang semakin lama arsitekturnya mengada-ada. Penampilan tugu-tugu masa kini sebagai lambang perwujudan kembali rupa nenek-moyang, bentuk dan gayanya lebih mengarah kepada gaya naturalis.[3]
            Maka itu, pada tulisan ini, akan membahas mengenai Tugu bagi orang dengan hasil penelitian kelompok mengenai Tugu di daerah Laguboti, pada tanggal 15 Oktober 2016, di Laguboti, tepatnya di Kampung Hutapea.



BAB II
PEMBAHASAN

I.                   Definisi Tugu
1.1  Secara Umum
            Tugu dalam KBBi adalah Monumen yaitu Tugu Peringatan, Tugu adalah sebagai Tiang besar dan tinggi dibuat dengan batu dimana tugu sebagai tanda peringatan terhadap sesuatu.[4] Istilah Tugu dapat disamakan dengan arti Monument dalam bahasa Inggris yaitu menurut kamus The New Oxford Illistrated Dictionary. Tugu adalah segala sesuatu yang telah melalui ketahanan yang sangat lama dipakai untuk mengenang seseorang, kegiatan, atau kejadian. Arti Kedua yang disebut dalam kamus tersebut adalah pekerjaan atau hasil karya yang bernilai kekal. Tugu disbeut sebagai bangunan atau lokasi alamiah yang dilestarikan karena keindahan arti sejarahnya.[5] Menurut S.M Hutagalung, Tugu yang disebut monument adalah suatu bangunan sebagai tanda peringatan untuk mengenang suatu jasa dan kebesaran sera keagungan seorang tokoh yang sudah meninggal. Tugu dalam arti monument adalah berarti suatu peringatan atau suatu memorial yang berbentuk bangunan yang didirkan guna memperingati suatu kejadian besar dan penting dalam sejarah, atau menghidupi serta memelihara peringatan kepada perorangan yang sudah meninggal.[6]

1.2  Secara Khusus (Batak)
Salah satu kebudayaan tertua yang masih dilakukan manusia adalah penghormatan kepada leluhur yang sudah meninggal, yaitu dengan mengadakan pembangunan Tugu. Pada awalnya orang Batak Toba belum mengenal istilah Tugu, tetapi dahulu yang ada adalah Tambak yaitu Makam (kuburan) yang ditinggikan dengan menyusun lempengan tanah dimakam orang tua yang sudah memiliki banyak keturunan. Bagi orang Batak, tugu diartikan sebagai ‘suman atau sumansuman’. Suman ini mereka buat dari batu yang dipahat dan harus ada sumannya atau miripnya dengan nenek moyang yang dimaksud. [7]



II.                Latar Belakang Pembangunan Tugu
2.1  Berdirinya
            Pembangunan tugu secara besar-bsaran di tanah Batak terjadi dalam dasawarsa 1955-1965. Sesudah itu, berkurang dan hampir hilang selama beberapa tahun. Namun demikian, kegiatan tersebut timbul kembali pada tahun terakhir ini dan nampaknya berkembang secara lebih menggebu.[8] Pembangunan tugu bermula dari pembangunan patung-patung di tanah Batak sejak tahun 50-an yang sangat melonjak, sehingga pembangunan tugu ini disebut sebagai suatu gerakan. Dan gerakan ini kembali memusatkan didaerah-daerah pusat Batak di sekitar Danau Toba. Gerakan ini juga dapat dilihat dari sudut kebijaksanaan lembaga-lembaga pemerintahan dibidang kebudayaan, maupun sudut religi-etnologis, yakni pendirian dan penahbisan ‘Mausoleum’ (kuburan mewah) bagi datu terakhir, Sisingamangaraja XII. Mausoleum ini terletak di Soposurung, Balige. Intinya, bahwa pembangunan tugu Batak ada hubungannya dengan Mausoleum Sisingamangaraja XII.[9]

            Berdasarkan hasil penelitian kami terhadap Tugu Hutapea Lagu Boti, Pembukaan wacana pembangunan Tugu dimulai oleh seorang perantau Jakarta bermarga Hutapea yang berasal dari Sarulla. Dia merupakan salah seorang direktur bank yang ada di Jakarta. Dia sendiri mengaku bahwa marga Hutapea yang dimiliki masihlah samar. Karena dia masih belum yakin mengenai asal usul marga Hutapea yang telah ia kenakan sejak lahir. Apakah Hutapea yang berasal dari Tarutung atau Hutapea yang berasal dari Laguboti.  Ketika ada pesan dari keluarganya (tepatnya ompung) yang sampai ke Jakarta bahwa dia berasal dari Hutapea Laguboti. Dan tanpa disengaja, pada saat itu telah ada perencanaan pembangunan tugu oleh para tetua yang ada di Laguboti. Kemudian ketika mendengar itu, dia segera berangkat ke Laguboti dari Jakarta pada tahun 1973. Di Laguboti, dia segera menghampiri para tetua yang ada disitu dan membicarakan perencanaan pembangunan. Setelah mereka setuju untuk memulai pembangunan, dia segera memesan material-material bangunan yang dibutuhkan dari panglong / Toko bangunan. Dia juga memberikan panjar pembangunan kepada tetua senilai 5 Juta (hitungan pada tahun 1973). Selama hingga masa peletakan batu pertama, ia tinggal berbulan-bulan di Laguboti dengan biaya sendiri. Kemudian setelah peletakan batu pertama dan pembentukan pondasi bangunan, barulah ia kembali lagi ke daerah asalnya Jakarta. Pembangunan pun mulai berjalan. Pembangunan dimulai pada tahun 1974 dan berakhir pada tahun 1975. Dana pembangunan diperoleh dari anak-anak rantau yang bermarga Hutapea. Selain itu, dana juga diperoleh dari dana gotong royong penduduk sekitar walaupun nilai yang diperoleh tergolong kecil.  Pada saat perencanaan pembangunan, rasa percaya anak rantau mengenai pemegangan dan pengendalian biaya kepada penduduk setempat masih sangat kecil karena mereka (anak rantau) masih beranggapan bahwa dana yang telah dikumpulkan dari anak rantau akan habis dimakan oleh para tetua-tetua dan penduduk setempat.[10] Berdirinya bangunan Tugu, berhubungan dengan migrasi orang Batak ke kota-kota di Sumatera dan Jawa. Di Kota-kota ini persaingan dengan kelompok etnik lain menimbulkan munculnya perkumpulan anggota-anggota semarga yang memperkuat jati diri Orang Batak Toba. Mereka merantau dan menyumbangkan dana untuk pembangunan Tugu, disamping meningkatkan martabat diri sendiri, juga menguatkan kembali posisinya dalam silsilah dan ikatan hatinya dengan tanah leluhur, sumber keramat marganya.[11]

2.2  Fungsi dan Manfaat Tugu Bagi Orang Batak
            Manfaat yang diperoleh dari pembangunan tugu berdasarkan faedah sosial, adalah supaya tidak kalah dengan kegiatan serupa dari kelompok lain. Dalam kegiatan pembangunan tugu itu, juga muncul persaingan. Sering terdengar bahwa kegiatan membangun tugu adalah alat pemersatu kelompok, marga, atau cabang marga. Bila hal ini mempunyai kebenaran, maka ini aladalah dampak yang positif.[12] Tugu didirikan untuk menunjukkan rasa persatuan yang erat.  Pada saat tugu telah selesai dibangun, diadakan pesta / gondang selama 3 hari 3 malam oleh seluruh keturunan ompu Hutapea di tugu itu.[13]
2.3  Tujuan Pembangunan Tugu
            Kebanyakan tugu tersebut biasanya dibangun untuk memperingati seseorang, yaitu dari tugu tersebut biasayanya dibangun untuk memperingati seseorang, yaitu nenek moyang satu marga atau satu cabang marga. Biasanya orang yang diperingati dengan tugu adalah orang yang berjasa atau berpengorbanan besar dalam suatu bidang tertentu kehidupan manusia. Namun kebanyakan dari tugu yang dibangun di tanah Batak, dimaksudkan untuk memperingati orang yang tidak jelas jasa atau pengorbanannya, kecuali bahwa mereka menjadi nenek atau nenek moyang bagi sekelompok manusia.[14] Para perantau yang menyumbang dana terbesar kepada pembangunan tugu, sering terdengar berkata bahwa mereka memandang pembangunan tugu sebagai salah satu dari cara mereka membangun penduduk Bona Pasogit.[15]
            Tujuan dari Pembangunan Tugu juga untuk menunjukkan Identitas suatu Marga. Dalam hal ini tujuan pembangunan Tugu Batak dilatarbelakangi dari kelompok marga yang saompu tersebut. Ompu mereka disebut dengan ‘ompu parsadaan’. Tujuan ini timbul karena melihat bahwa masyarakat (para perantau) di kota besar tidak lagi dibedakan menurut suku bangsa, sehingga mereka kurang mengenal ‘ompu parsadaan’ tersebut. Oleh karena itu lah pembangunan tugu dilakukan oleh kelompok tersebut dengan diawali pesta penggalian tulang-belulang. Proses ini dilakukan dengan tujuan melawan berseraknya dan runtuhnya persekutuan (pada umumnya para perantau di kota) marga tersebut.[16]

III.             Hasil Wawancara
TUGU HUTAPEA LAGUBOTI
3.1  Latar Belakang beridirinya Tugu[17]
            Tugu ini berdiri karena kesepakatan para keturunan ompu Hutapea. Mereka bersepakat melakukan rapat mengenai program dan perancanaan pembangunan. Dalam proses rencana pendirian menghabiskan waktu yang begitu panjang, yaitu selama 5 tahun. Dalam melakukan pendirian Tugu diperlukan perencanaan yang matang untuk itu. Terlebih hal yang menyangkut mengenai pendanaan karena dana yang dibutuhkan untuk pembangunan Tugu bukanlah dana yang sedikit. Pembukaan wacana pembangunan Tugu dimulai oleh seorang perantau Jakarta bermarga Hutapea yang berasal dari Sarulla. Dia merupakan salah seorang direktur bank yang ada di Jakarta. Dia sendiri mengaku bahwa marga Hutapea yang dimiliki masihlah samar. Karena dia masih belum yakin mengenai asal usul marga Hutapea yang telah ia kenakan sejak lahir. Apakah Hutapea yang berasal dari Tarutung atau Hutapea yang berasal dari Laguboti.  Ketika ada pesan dari keluarganya (tepatnya ompung) yang sampai ke Jakarta bahwa dia berasal dari Hutapea Laguboti. Dan tanpa disengaja, pada saat itu telah ada perencanaan pembangunan tugu oleh para tetua yang ada di Laguboti. Kemudian ketika mendengar itu, dia segera berangkat ke Laguboti dari Jakarta pada tahun 1973. Di Laguboti, dia segera menghampiri para tetua yang ada disitu dan membicarakan perencanaan pembangunan. Setelah mereka setuju untuk memulai pembangunan, dia segera memesan material-material bangunan yang dibutuhkan dari panglong / Toko bangunan. Dia juga memberikan panjar pembangunan kepada tetua senilai 5 Juta (hitungan pada tahun 1973). Selama hingga masa peletakan batu pertama, ia tinggal berbulan-bulan di Laguboti dengan biaya sendiri. Kemudian setelah peletakan batu pertama dan pembentukan pondasi bangunan, barulah ia kembali lagi ke daerah asalnya Jakarta. Pembangunan pun mulai berjalan. Pembangunan dimulai pada tahun 1974 dan berakhir pada tahun 1975. Dana pembangunan diperoleh dari anak-anak rantau yang bermarga Hutapea. Selain itu, dana juga diperoleh dari dana gotong royong penduduk sekitar walaupun nilai yang diperoleh tergolong kecil.  Pada saat perencanaan pembangunan, rasa percaya anak rantau mengenai pemegangan dan pengendalian biaya kepada penduduk setempat masih sangat kecil karena mereka (anak rantau) masih beranggapan bahwa dana yang telah dikumpulkan dari anak rantau akan habis dimakan oleh para tetua-tetua dan penduduk setempat. Banyak juga keturunan Hutapea yang telah merantau tidak perduli dengan pendirian dan perawatan tugu Hutapea. Padahal, mereka sudah menjadi orang berkecukupan misalnya pengacara ternama yaitu Hotman Paris Hutapea.
            Pada waktu acara pesta peresmian tugu ini, semua keluarga besar Hutapea se-Indonesia diundang untuk menghadiri acara itu, tetapi dikarenakan kondisi, sehingga setiap wilayah tidak dapat dihadiri oleh seluruh keluarga besar Hutapea, melainkan hanya diwakilkan oleh beberapa orang saja dari setiap wilayahnya.

3.2  Maksud dan Tujuan Tugu[18]
            Kemudian, Tugu didirikan untuk menunjukkan rasa persatuan yang erat.  Pada saat tugu telah selesai dibangun, diadakan pesta / gondang selama 3 hari 3 malam oleh seluruh keturunan ompu Hutapea di tugu itu. Pembuka gondang adalah marga Sitorus karena mereka merupakan hula-hula dari Hutapea. Pada saat itu juga hadir seorang sintua yang bernama Sintua Efraim Hutapea yang telah berumur 80-an tahun. Tetapi dia disitu bukanlah hadir sebagai perwakilan pihak gerejani dikarenakan tidak ada peran gereja diberikan untuk membuka acara pesta, sehingga acara langsung dimulai dengan adat.
            Ukuran tanah daerah tugu ini yaitu 15 x 15 Meter. Tujuan pembangunan tugu ini adalah sebagai symbol penghormatan kepada orangtua. Perawatan tugu Hutapea ini kurang diperhatikan, hal itu tampak dari kondisi sekitar tugu yang kurang terawat, dimana terdapat ilalang yang lebat dan juga hewan ternak yang bebas masuk. Memang sekali-sekali yang membersihkan tugu ini adalah penduduk sekitar yang memiliki niat untuk membersihkannya.

3.3  Penggunaan dan Pengembangannya[19]
            Dalam proses pengadaan kegiatan di tugu ini, tidak adanya jadwal yang rutin. Kegiatan hanya akan dilakukan bila telah diadakan kesepakatan bersama. Padahal harapan oleh para beberapa tokoh Hutapea supaya dapat diadakan perkunjungan rutin. Kegiatan yang sering dilakukan yaitu hanyalah sekedar berdoa. Narasumber mengatakan bahwa janganlah karena adanya muatan politik di dalamnya karena mau mencalonkan diri sebagai anggota dewan baru kemudian melakukan kegiatan yang menyangkutpautkan tugu. Seperti kejadian yang pernah terjadi dimana ada seseorang yang sedang mencalonkan diri sebagai anggota dewan melakukan tindakan pemberian perhatian kepada tugu dengan cara mengecat ulang tugu itu. Tetapi ternyata cat yang digunakan memiliki warna yang serupa dengan bendera partainya.

3.4  Bentuk Kontruksi Bangunan Tugu[20]
            Konstruksi bangunan yang berbentuk rumah yang berada tepat di bawah tugu Hutapea, merupakan bangunan yang kemudian yaitu baru sekitar 10 tahun yang silam dibangun. Pembangunannya bertujuan supaya bentuk bangunannya dapat lebih baik, walau memang di bawah bangunan rumah itu dijadikan sebagai tempat peletakan sesajen berupa daun siri, telur, jeruk purut, rokok, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kegiatan ritus penyembahan kepada berhala di tempat itu untuk meminta restu kepada mendiang raja Hutapea. Pada dasarnya, bangunan tugu yang dibangun hanyalah berbentuk tiang yang menjulang ke atas dimana pada kontruksi bangunan paling bawah ditanam di dalamnya sisa-sisa tulang dari raja Hutapea dahulu yang telah dipindahkan dari makam sebelumnya yang berada tidak jauh dari keberadaan tugu itu. Bangunan ini pernah melakukan renovasi berupa pengecatan ulang seluruh bangunan dan penambahan bangunan yang berbentuk rumah tadi.
            Tugu Hutapea memiliki tiga tiang yang menjulang ke atas dengan bentuk ujung yang menyatu. Ketiga tiang itu menggambarkan bahwa terdapat tiga anak dari raja Hutapea dahulu kala. Ketiga anaknya itu yaitu : Raja Oloan, Raja Bonanionan, dan Raja Turbanahapal. Di ujung tiang tertinggi dari tugu ini terdapat guci, hajo (bambu), dan tulisan batak dahulu. Guci ini menandakan bahwa raja Hutapea dahulu kala dapat mengobati.
            Di konstruksi bangunan tugu ini tidak tampak symbol-simbol kekristenan. Karena memang menurut narasumber bahwa tugu ini bukanlah kuburan awal dari raja Hutapea sehingga tidak perlu terdapat symbol kekristenan berupa salib.

3.5  Pengaruh kepada Masyarakat[21]
            Bagaimana dengan konsep kepercayaan tradisional orang Batak pada tugu ini? Masih ada kah penghormatan leluhur, seperti upacara-upacara tertentu pada tugu ini? Berdasarkan wawancara kami, didapatkan hasil bahwa dahulunya masih ada upacara-upacara pemeberian sesajen berupa makanan (biasanya ayam), jeruk purut dan tembakau. Selain itu masih ada juga orang-orang berziarah dan berobat ke tugu ini. Namun ada juga yang kesurupan (hasurupan) ketika mengunjungi tugu ini. Ada juga yang mengunjungi tugu ini dengan harapan sebagai penyumbang vinansial untuk perawatan. Setelah kelompok kami mendengar pernyataan tersebut, kami mengajukan pertanyaan sebagai berikut: “Bagaimana tanggapan Bapak tentang hal ini jika dihubungkan dengan iman Kristiani (agama) mereka?” Menurut Amang Hutapea, meskipun mereka beragama Kristen, tetapi mereka tetap saja tidak dapat lepas dari budaya sejarah. Memang secara agama hal tersebut salah,tetapi tetap saja ada yang datang untuk memberi persembahan dengan motif mengikuti budaya sejarah tersebut.

IV.             Analisa Terhadap Hasil Wawancara
            Kesamaan nama marga Hutapea Laguboti dan Hutapea Tarutung bukan berarti kedua marga ini memiliki garis keturunan yang sama. Terkadang masih ada beberapa orang bermarga Hutapea yang masih kebingungan ketika ditanyakan Hutapea dari mana. Ini jugalah yang dirasakan oleh seorang Direktur Bank di Jakarta yang bermarga Hutapea. Setelah ia mendapat pesan dari keluarganya di Kampung, bahwasannya dia adalah Hutapea dari Laguboti, dan tanpa sengaja juga, pada saat itu juga sedang dilaksanakan perencanaan pebangunan Tugu oleh para penatua-penatua yang ada di Laguboti. Ia langsung berangkat dari Jakarta ke Laguboti untuk menghampiri penatua dan membicarakan perencanaan Tugu tersebut. Disini Kelompok melihat hal positif bahwa Pembangunan Tugu bagi orang Batak adalah ingin meneguhkan dan mempersatukan orang-orang yang satu marga dimanapun mereka berada. Selain itu juga, untuk menunjukkan Eksistensi dari marga itu sendiri kepada masyarakat, khususnya marga yang lain. Kemudian, dalam awal proses pembangunannya  dan bantuan yang diberikan oleh seorang Direktur Bank yang kita lihat, Pembangunan Tugu juga menjadi penggambaran dari perasaan senang, bangga, dan kepedulian akan identitas marga yang dipakainya.
            Tugu juga didirikan untuk menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesatuan sesama marga, dan hal itu telah ditunjukkan melalui kegiatan gotong-royong yang dilakukan penduduk sekitar untuk mengumpulkan dana pembangunan tugu. Kemudian juga terlihat dari dana pembangunan Tugu yang terkumpulkan dari anak-anak perantauan. Yang di salutkan disini adalah, kekuatan Tugu yang mampu menggerakkan hati anak-anak rantau dan menumbuhkan keperduliannya terhadap keluarga satu marganya. Tetapi yang kelompok sesalkan, Anak-anak rantau dan warga sekitar lebih mengutamakan pembangunan dan perawatan tugu mereka sendiri, dibanding memajukan kehidupan masyarakat atau keluarga mereka atau keluargannya. Setidaknya mereka dapat membangun Sekolah, Puskesmas, Lapangan Kerja, dan lainnya dibanding dengan mengutamakan Tugu terlebih dahulu.
            Hal Negatif yang dipandang kelompok : melihat masyarakat di Laguboti terutama yang bermarga Hutapea Laguboti, tentunya mayoritas telah menganut agama Kristen.  Namun dengan kehadiran Tugu tersebut, memberikan dampak negatif terhadap jemaat Kristen. Ini terlihat dari orang Kristen Batak yang masih melakukan ritus-ritus menyembah dan meminta restu kepada mendiang Raja Hutapea sambil memberikan sesajen berupa daun sirih, telur, jeruk purut, rokok, dan sebagainya. Dari satu sisi juga kelompok melihat,bahwa tidak menutup kemungkinan, ternyata masih ada rasa fanatik akan leluhur dalam jiwa masyarakat sekitar. Masyarakat yang masih lebih mengutamakan kebudayaan adat Batak, dan pemujaan nenek-moyang dengan menutup mana terhadap agama Kristen yang di anutnya. Bahkan hal yang dipandang kelompok sangat fatal, adalah Seorang Penatua atau Sintua Gereja yang bernama St. Efraim Hutapea, ketika awal jadinya bangunan Tugu, diadakannya Pesta Adat selama 3 hari- 3malam oleh seluruh keturunan ompu Hutapea di tugu itu dengan membawa sesajen. Dikatakan juga bahwa Beliau hadir bukan sebagai perwakilan gerejani, karena tidak ada peran gereja diberikan untuk membuka acara pesta. Disini kita melihat bahwa Orang Kristen Batak, lebih mengesampingkan Agamanya dan mengutamakan Kebiasaan Adat yang dulu. Selain itu juga, ini menunjukkan Kerohanian dan Keimanan masyarakat Kristen Batak yang masih kurang, dan Tidak adanya peranan gereja terhadap hal ini.

V.                Pandangan Etika Kristen Terhadap Penghormatan Kepada Orang Meninggal
            Berangkat dari Tujuan orang Batak membangun Tugu, yaitu untuk mengenang dan menghormati Roh Leluhur atau Nenek Moyang yang telah meninggal. Pada bagian ini kelompok akan memberikan Pandangan menurut Etika Kristen terhadap Hal itu.
            Secara pandangan Alkitab, telah dibuktika tidak ada lagi hubungan yang mati dan orang-orang yang telah meninggal (Peng 9: 5-6), jadi pemujaan kepada Roh nenek moyang adalah hal yang tidak Kristiani dan ini adalah bentuk pembangkangan terhadap etika Kristen. Dalam Hukum Taurat ke-2 ditegaskan bahwa Allah melarang bangsa Israel untuk membuat patung menyerupai apapun dan dimanapun, Allah melarang bangsa Israel untuk menyembah hal-hal yang demikian (Kel. 20: 4-5). Menghormati Orang tua dilakukan pada waktu semasa hidup mereka, jika hal tersebut dilakukan setelah meninggal itu tidak ada lagi gunanya dihadapan Allah. Apalagi sampai memberikan persembahan dengan maksud meminta berkat, maka hal ini sama sekali tidaklah benar. Tuhan melarang umatNya untuk memper-Tuhankan nenek moyang, Dia melarang untuk menyampaikan kurban-kurban dan sajian-sajian.[22]
            Memang di Alkitab dikatakan bahwa manusia adalah gambaran dan rupa Allah. Namun walaupun demikian manusia bukanlah Allah, Allah adalah pencipta dan manusia adalah ciptaan. Ada perbandingan yang membedakan antara Allah dengan Allah dan manusia. Artinya manusia senantiasa dipelihara oleh hukum dan kehendak Allah sampai selama-lamanya, jadi ketaatan manusia kepada Allah bersifat kekal.[23] Walaupun manusia diharuskan taat sepenuhnya terhadap Allah bukan berarti bahwa mereka tidak boleh menghormati orang tuanya (Mrk 7:9-13), Tuhan Yesus mengkritik sistem adat masyarakat Yahudi yang terlalu menekankan hormat kepada ahli-ahli taurat dan mengabaikan hormat pada orang tua. Yesus menekankan bahwa orang tua harus dihormati tapi wujud hormat itu tidak boleh sampai menyembah mereka sehingga menduakan Allah. Menurut Hukum Taurat ke-5 hormat kepada orang tua adalah wujud dari penghormatan kepada Allah dengan cara peduli, menghargai, memelihara, dan memperhatikan.[24]
            Dalam perjanjian Baru, Istilah tugu dapat kita temukan didalam Mat. 23:29, “Celakalah kamu hai ahli-ahli taurat dan orang-orang farisi, hai kamu orang-orang munafik sebab kamu membangun makam nabi-nabi dan pemberindah tugu orang-orang saleh”. Dengan demikian, berarti Yesus melarang melarang orang-orang membangun tugu, karena pada umumnya tugu-tugu ini digunakan untuk penyembahan berhala. Jadi bagaimana konsep yugu yang sebenarnya? Paulus mengatakan bahwa Tugu yang sebenarnya (Tugu Kebenaran) adalah Gereja (bnd 1 Tim. 3:15). Disini dijelaskan bahwa Alkitab memandang pembangunan tugu bukan sebagai penghormatan terhadap nenek moyang dan tempat penyimpanan tulang-belulang orang yang sudah meninggal, tetapi sebagai peringatan atas keagungan dan kebesaran Tuhan Allah yang senantiasa melindungi, membimbing dan membebaskan bangsa-Nya.[25]







BAB III
PENUTUP
Ø  Refleksi
            Manusia diberikan Allah kebebasan tapi kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang bertanggungjawab, kebebasan untuk melakukan hal-hal yang berkenan baig Allah serta bertanggungjawa dalam melaksanakan kehendak-Nya. [26]Karena pengaruh utama bagi etika seseorang adalah imannya.[27] Iman Kristen adalah dinamis dan selalu berpusat pada Kristus yang didalamnya Allah berkarya, dan berkat keselamatan kepada seluruh orang percaya mengalir dari pengorbanan-Nya di kayu Salib. Jadi tidak ada berkat dari roh leluhur, karena sebagai yang ada di dunia adalah ciptaan Alah, jadi bila kita menyembah ciptaan-Nya dan mengabaikan Tuhan, tentulah itu perbuatan Dosa. Iman yang benar akan memberikan dampak yang nyata dan Iman yang membebaskan. Iman Kristen adalah pembebasan, bebas dari pemujaan pada hal yang palsu, sesat dan bebas dari ketertindasan. Karena itu Iman Kristen.[28]
            Jadi bagi kita seorang Kristen yang beriman kepada Yesus Kristus, meskipun memiliki latarbelakang suku dan kebudayaan yang berbeda. Diajak untuk hidup berdasarkan iman Kristen. Bukan berarti untuk meninggalkan corak kebudayaan secara keseluruhan, tetapi diajak untuk dapat lebih baik lagi, dalam memilah gaya dan cara hidup yang berlandaskan Iman Kristen dan tentunya sesuai dengan Kehendak Allah.
Ø  Rencana Aksi
            Sebagai Recana Aksi kelompok untuk menghadapi Studi kasus yang kami teliti, kami melihat yang paling berperan dalam hal ini adalah Gereja yang harus lebih menunjukkan Eksistensi dan Suara kenabiannya di tengah-tengah masyarakat Batak. Gereja harus bisa lebih memfokuskan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat Batak mengenai Tugu. Dimana Tugu hanyalah sebatas untuk pengetahuan akan garis keturunan, dan sebagai Bukti yang Memperasatukan dan membangun hubungan yang erat dalam satu Marga dalam menumbuhkan rasa kebersamaan, dan dalam tindakan kehidupan selebihnya haruslah berlandaskan kepada Firman Allah.
Ø  Kesimpulan
            Tugu bagi orang Batak merupakan monument yang tidak hanya sekedar bangunan biasa. Tugu dibangun oleh Orang Batak sendiri sebagai wujud kebersamaan semarga, dan juga untuk menghormati para leluhur atau nenek-moyang orang Batak sendiri karena itu, karena itu tulang-belulang leluhur atau orang tua disimpan di Tugu tersebut. Setelah itu, sebagai wujud penghormatan manusia terhadap leluhurnya, dan cara untuk meminta berkat dari leluhurnya, masih ada beberapa orang Batak yang melakukan ritual-ritual acara menyembah dan membawa persembahan ke Tugu.
            Mengenai Pemujaan ini pastinya sangatlah ditentang oleh Pandangan Kristen, karena hal itu termasuk pada penyembahan Berhala. Alkitab berpandangan Leluhur atau Orang tua haruslah dihormati ketika masa hidupnya (Taurat ke-5), jika menghormati dan apalagi memujanya setelah mati itu merupakan penyembahan berhala, dan pastinya merupakan bentuk pelanggaran terhadap Kehendak Allah













DAFTAR PUSTAKA

Saleh.M,                                  Seni Patung Batak dan Nias, Direktorat Jendral Kebudayaan,
            1980

Schreiner, Lothar,                   Adat dan Injil, BPK Gunung Mulia, Jakarta
            2003

Suhunan Situmorang,              Sordam, Gagas Media, Depok
            2005

KBBI,                                                 Balai Pustaka, Jakarta
            1990

Amudi Pasaribu,                     Pembangunan tugu dari segi Sosial-Ekonomi, B.A                                                           Simanjuntak (ed) dalam Pemikiran Tentang Batak,                                                            Universitas HKBP Nommensen, Medan
            1986

Darwin Lumbantobing,           Teologi di Pasar Bebas, L-SAPA, Pematang Siantar
            2007

Bungaran A. Simanjuntak,      Pemikiran Tentang Batak, Yayasan Pustaka Obor Indonesia,                                            Jakarta
            2011

Clude Guillot,                         Lobu Tua Sejarah Awal Barus, Yayasan Pustaka Obor                                                     Indonesia, Jakarta
            2002

J. Verkuyl,                               Etika Kristen Kapita Selekta, BPK Gunung Mullia,
            1989


Karel Sosipater,                       Etika Perjanjian Lama, Suara Harapan Bangsa, Jakarta
            2010

E.D.R Hutauruk,                     Pembangunan Tugu Nenek Moyang Orang Batak Ditijau Dari                                            Segi Iman Kristen, dalam, Tidak Ada Yang Mustahil Bagi                                                Allah, J.R Hutauruk, TP, Pematang Siantar,
            1986.
K. Bertens,                              Etika, PT. Gramedia, Jakarat
            1994

Malcolm Brownlee,                 Pengambilan Keputusan Etis, BPK Gunung Mulia, Jakarta           1989

Soedjatmoko,                          Etika Pembebasan, LP3S, Jakarta
            1984
Hasil Penelitian Kelompok, 15 Oktober 2016, Kampung Hutapea, Laguboti



[1] Saleh.M, Seni Patung Batak dan Nias, (Direktorat Jendral Kebudayaan, 1980),  78
[2] Schreiner, Lothar, Adat dan Injil, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 182
[3] Suhunan Situmorang, Sordam, (Depok: Gagas Media, 2005), 173
[4] KBBI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 176
[5] Amudi Pasaribu, Pembangunan tugu dari segi Sosial-Ekonomi, B.A Simanjuntak (ed) dalam Pemikiran Tentang Batak, (Medan: Universitas HKBP Nommensen, 1986), 182
[6] Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, (Pematang Siantar; L-SAPA, 2007) 352
[7] Amudi Pasaribu, Pembangunan tugu dari segi Sosial-Ekonomi, 183
[8] Bungaran A. Simanjuntak, Pemikiran Tentang Batak, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), 250
[9] Schreiner, Lothar, Adat dan Injil, 182.

[10] Hasil Penelitian Kelompok, 15 Oktober 2016, Kampung Hutapea, Laguboti
[11] Clude Guillot,  Lobu Tua Sejarah Awal Barus, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2002), 238
[12] Bungaran A. Simanjuntak, Pemikiran Tentang Batak, 252
[13] Hasil Penelitian Kelompok, 15 Oktober 2016, Kampung Hutapea, Laguboti
[14] Bungaran A. Simanjuntak, Pemikiran Tentang Batak, 248
[15] Bungaran A. Simanjuntak, Pemikiran Tentang Batak, 254
[16] Schreiner, Lothar, Adat dan Injil,185.
[17] Hasil Penelitian Kelompok, 15 Oktober 2016, Kampung Hutapea, Laguboti
[18] Hasil Penelitian Kelompok, 15 Oktober 2016, Kampung Hutapea, Laguboti
[19] Hasil Penelitian Kelompok, 15 Oktober 2016, Kampung Hutapea, Laguboti
[20] Hasil Penelitian Kelompok, 15 Oktober 2016, Kampung Hutapea, Laguboti
[21] Hasil Penelitian Kelompok, 15 Oktober 2016, Kampung Hutapea, Laguboti
[22] J. Verkuyl, Etika Kristen Kapita Selekta, (Jakarta: BPK Gunung Mullia, 1989), 31
[23] J. Verkuyl, Etika Kristen Kapita Selekta, 32
[24] Karel Sosipater, Etika Perjanjian Lama, (Jakarta: Suara Harapan Bangsa, 2010), 92
[25] E.D.R Hutauruk, Pembangunan Tugu Nenek Moyang Orang Batak Ditijau Dari Segi Iman Kristen, dalam, Tidak Ada Yang Mustahil Bagi Allah, J.R Hutauruk, (Pematang Siantar: TP, 1986), 148.
[26] K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT. Gramedia, 1994), 91
[27] Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1989), 70
[28] Soedjatmoko, Etika Pembebasan, (Jakarta: LP3S, 1984) , 207-210