Pages

Subscribe:

1 Sept 2017

SIKAP ETIS ORANG KRISTEN BATAK ATAS BUDAYA PEMBANGUNAN TUGU



BAB I
PENDAHULUAN
            Kebudayaan daerah dengan segala jenis corak dan gaya dari adat, seni, dan lainnya menjadi pembeda suatu suku dengan suku lain. Di penghujung abad XX ini, kesenian tradisional Batak khususnya seni patung tidak begitu banyak dibicarakan. Hal itu disebabkan patung-patung hasil karya peninggalan nenek moyang banyak yang sudah punah. Boleh disebabkan di daerah Batak pada umumnya sudah banyak yang memeluk agama Islam dan Kristen, sedangkan agama parmalim, yang menjadi kepercayaan awal suku Batak sudah jarang yang menganutnya. Kemungkinan-kemungkinan lain boleh jadi penilaian terhadap kesenian rakyat tradisional dianggap sudah tidak sesuai lagi dalam lingkungan masyarakat Batak yang hidup di zaman modern sekarang. Meski begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa masih ada saja suku Batak yang masih fanatik terhadap leluhurnya, seni patung berkembang terus dan bahkan menampilkan kembali leluhur nenek moyang, baik berupa patung atau tugu.[1]
            Dengan adanya tugu-tugu ini, pemujaan nenek-moyang ditanah Batak telah mendapat suatu perwujudan yang seharusnya mendapat perhatian kita. Sejak permulaan tahun limapuluhan jumlah tugu-tugu di tanah batak menanjak sedemikian mencolok, hingga ini dapat disebut sebagai bangunan dan suatu gerakan.[2] Orang-orang batak sekarang sepertinya hanya berlomba-lomba membangun tugu marga dan juga mengembangkan tugu masing-masing marganya, yang semakin lama arsitekturnya mengada-ada. Penampilan tugu-tugu masa kini sebagai lambang perwujudan kembali rupa nenek-moyang, bentuk dan gayanya lebih mengarah kepada gaya naturalis.[3]
            Maka itu, pada tulisan ini, akan membahas mengenai Tugu bagi orang dengan hasil penelitian kelompok mengenai Tugu di daerah Laguboti, pada tanggal 15 Oktober 2016, di Laguboti, tepatnya di Kampung Hutapea.



BAB II
PEMBAHASAN

I.                   Definisi Tugu
1.1  Secara Umum
            Tugu dalam KBBi adalah Monumen yaitu Tugu Peringatan, Tugu adalah sebagai Tiang besar dan tinggi dibuat dengan batu dimana tugu sebagai tanda peringatan terhadap sesuatu.[4] Istilah Tugu dapat disamakan dengan arti Monument dalam bahasa Inggris yaitu menurut kamus The New Oxford Illistrated Dictionary. Tugu adalah segala sesuatu yang telah melalui ketahanan yang sangat lama dipakai untuk mengenang seseorang, kegiatan, atau kejadian. Arti Kedua yang disebut dalam kamus tersebut adalah pekerjaan atau hasil karya yang bernilai kekal. Tugu disbeut sebagai bangunan atau lokasi alamiah yang dilestarikan karena keindahan arti sejarahnya.[5] Menurut S.M Hutagalung, Tugu yang disebut monument adalah suatu bangunan sebagai tanda peringatan untuk mengenang suatu jasa dan kebesaran sera keagungan seorang tokoh yang sudah meninggal. Tugu dalam arti monument adalah berarti suatu peringatan atau suatu memorial yang berbentuk bangunan yang didirkan guna memperingati suatu kejadian besar dan penting dalam sejarah, atau menghidupi serta memelihara peringatan kepada perorangan yang sudah meninggal.[6]

1.2  Secara Khusus (Batak)
Salah satu kebudayaan tertua yang masih dilakukan manusia adalah penghormatan kepada leluhur yang sudah meninggal, yaitu dengan mengadakan pembangunan Tugu. Pada awalnya orang Batak Toba belum mengenal istilah Tugu, tetapi dahulu yang ada adalah Tambak yaitu Makam (kuburan) yang ditinggikan dengan menyusun lempengan tanah dimakam orang tua yang sudah memiliki banyak keturunan. Bagi orang Batak, tugu diartikan sebagai ‘suman atau sumansuman’. Suman ini mereka buat dari batu yang dipahat dan harus ada sumannya atau miripnya dengan nenek moyang yang dimaksud. [7]



II.                Latar Belakang Pembangunan Tugu
2.1  Berdirinya
            Pembangunan tugu secara besar-bsaran di tanah Batak terjadi dalam dasawarsa 1955-1965. Sesudah itu, berkurang dan hampir hilang selama beberapa tahun. Namun demikian, kegiatan tersebut timbul kembali pada tahun terakhir ini dan nampaknya berkembang secara lebih menggebu.[8] Pembangunan tugu bermula dari pembangunan patung-patung di tanah Batak sejak tahun 50-an yang sangat melonjak, sehingga pembangunan tugu ini disebut sebagai suatu gerakan. Dan gerakan ini kembali memusatkan didaerah-daerah pusat Batak di sekitar Danau Toba. Gerakan ini juga dapat dilihat dari sudut kebijaksanaan lembaga-lembaga pemerintahan dibidang kebudayaan, maupun sudut religi-etnologis, yakni pendirian dan penahbisan ‘Mausoleum’ (kuburan mewah) bagi datu terakhir, Sisingamangaraja XII. Mausoleum ini terletak di Soposurung, Balige. Intinya, bahwa pembangunan tugu Batak ada hubungannya dengan Mausoleum Sisingamangaraja XII.[9]

            Berdasarkan hasil penelitian kami terhadap Tugu Hutapea Lagu Boti, Pembukaan wacana pembangunan Tugu dimulai oleh seorang perantau Jakarta bermarga Hutapea yang berasal dari Sarulla. Dia merupakan salah seorang direktur bank yang ada di Jakarta. Dia sendiri mengaku bahwa marga Hutapea yang dimiliki masihlah samar. Karena dia masih belum yakin mengenai asal usul marga Hutapea yang telah ia kenakan sejak lahir. Apakah Hutapea yang berasal dari Tarutung atau Hutapea yang berasal dari Laguboti.  Ketika ada pesan dari keluarganya (tepatnya ompung) yang sampai ke Jakarta bahwa dia berasal dari Hutapea Laguboti. Dan tanpa disengaja, pada saat itu telah ada perencanaan pembangunan tugu oleh para tetua yang ada di Laguboti. Kemudian ketika mendengar itu, dia segera berangkat ke Laguboti dari Jakarta pada tahun 1973. Di Laguboti, dia segera menghampiri para tetua yang ada disitu dan membicarakan perencanaan pembangunan. Setelah mereka setuju untuk memulai pembangunan, dia segera memesan material-material bangunan yang dibutuhkan dari panglong / Toko bangunan. Dia juga memberikan panjar pembangunan kepada tetua senilai 5 Juta (hitungan pada tahun 1973). Selama hingga masa peletakan batu pertama, ia tinggal berbulan-bulan di Laguboti dengan biaya sendiri. Kemudian setelah peletakan batu pertama dan pembentukan pondasi bangunan, barulah ia kembali lagi ke daerah asalnya Jakarta. Pembangunan pun mulai berjalan. Pembangunan dimulai pada tahun 1974 dan berakhir pada tahun 1975. Dana pembangunan diperoleh dari anak-anak rantau yang bermarga Hutapea. Selain itu, dana juga diperoleh dari dana gotong royong penduduk sekitar walaupun nilai yang diperoleh tergolong kecil.  Pada saat perencanaan pembangunan, rasa percaya anak rantau mengenai pemegangan dan pengendalian biaya kepada penduduk setempat masih sangat kecil karena mereka (anak rantau) masih beranggapan bahwa dana yang telah dikumpulkan dari anak rantau akan habis dimakan oleh para tetua-tetua dan penduduk setempat.[10] Berdirinya bangunan Tugu, berhubungan dengan migrasi orang Batak ke kota-kota di Sumatera dan Jawa. Di Kota-kota ini persaingan dengan kelompok etnik lain menimbulkan munculnya perkumpulan anggota-anggota semarga yang memperkuat jati diri Orang Batak Toba. Mereka merantau dan menyumbangkan dana untuk pembangunan Tugu, disamping meningkatkan martabat diri sendiri, juga menguatkan kembali posisinya dalam silsilah dan ikatan hatinya dengan tanah leluhur, sumber keramat marganya.[11]

2.2  Fungsi dan Manfaat Tugu Bagi Orang Batak
            Manfaat yang diperoleh dari pembangunan tugu berdasarkan faedah sosial, adalah supaya tidak kalah dengan kegiatan serupa dari kelompok lain. Dalam kegiatan pembangunan tugu itu, juga muncul persaingan. Sering terdengar bahwa kegiatan membangun tugu adalah alat pemersatu kelompok, marga, atau cabang marga. Bila hal ini mempunyai kebenaran, maka ini aladalah dampak yang positif.[12] Tugu didirikan untuk menunjukkan rasa persatuan yang erat.  Pada saat tugu telah selesai dibangun, diadakan pesta / gondang selama 3 hari 3 malam oleh seluruh keturunan ompu Hutapea di tugu itu.[13]
2.3  Tujuan Pembangunan Tugu
            Kebanyakan tugu tersebut biasanya dibangun untuk memperingati seseorang, yaitu dari tugu tersebut biasayanya dibangun untuk memperingati seseorang, yaitu nenek moyang satu marga atau satu cabang marga. Biasanya orang yang diperingati dengan tugu adalah orang yang berjasa atau berpengorbanan besar dalam suatu bidang tertentu kehidupan manusia. Namun kebanyakan dari tugu yang dibangun di tanah Batak, dimaksudkan untuk memperingati orang yang tidak jelas jasa atau pengorbanannya, kecuali bahwa mereka menjadi nenek atau nenek moyang bagi sekelompok manusia.[14] Para perantau yang menyumbang dana terbesar kepada pembangunan tugu, sering terdengar berkata bahwa mereka memandang pembangunan tugu sebagai salah satu dari cara mereka membangun penduduk Bona Pasogit.[15]
            Tujuan dari Pembangunan Tugu juga untuk menunjukkan Identitas suatu Marga. Dalam hal ini tujuan pembangunan Tugu Batak dilatarbelakangi dari kelompok marga yang saompu tersebut. Ompu mereka disebut dengan ‘ompu parsadaan’. Tujuan ini timbul karena melihat bahwa masyarakat (para perantau) di kota besar tidak lagi dibedakan menurut suku bangsa, sehingga mereka kurang mengenal ‘ompu parsadaan’ tersebut. Oleh karena itu lah pembangunan tugu dilakukan oleh kelompok tersebut dengan diawali pesta penggalian tulang-belulang. Proses ini dilakukan dengan tujuan melawan berseraknya dan runtuhnya persekutuan (pada umumnya para perantau di kota) marga tersebut.[16]

III.             Hasil Wawancara
TUGU HUTAPEA LAGUBOTI
3.1  Latar Belakang beridirinya Tugu[17]
            Tugu ini berdiri karena kesepakatan para keturunan ompu Hutapea. Mereka bersepakat melakukan rapat mengenai program dan perancanaan pembangunan. Dalam proses rencana pendirian menghabiskan waktu yang begitu panjang, yaitu selama 5 tahun. Dalam melakukan pendirian Tugu diperlukan perencanaan yang matang untuk itu. Terlebih hal yang menyangkut mengenai pendanaan karena dana yang dibutuhkan untuk pembangunan Tugu bukanlah dana yang sedikit. Pembukaan wacana pembangunan Tugu dimulai oleh seorang perantau Jakarta bermarga Hutapea yang berasal dari Sarulla. Dia merupakan salah seorang direktur bank yang ada di Jakarta. Dia sendiri mengaku bahwa marga Hutapea yang dimiliki masihlah samar. Karena dia masih belum yakin mengenai asal usul marga Hutapea yang telah ia kenakan sejak lahir. Apakah Hutapea yang berasal dari Tarutung atau Hutapea yang berasal dari Laguboti.  Ketika ada pesan dari keluarganya (tepatnya ompung) yang sampai ke Jakarta bahwa dia berasal dari Hutapea Laguboti. Dan tanpa disengaja, pada saat itu telah ada perencanaan pembangunan tugu oleh para tetua yang ada di Laguboti. Kemudian ketika mendengar itu, dia segera berangkat ke Laguboti dari Jakarta pada tahun 1973. Di Laguboti, dia segera menghampiri para tetua yang ada disitu dan membicarakan perencanaan pembangunan. Setelah mereka setuju untuk memulai pembangunan, dia segera memesan material-material bangunan yang dibutuhkan dari panglong / Toko bangunan. Dia juga memberikan panjar pembangunan kepada tetua senilai 5 Juta (hitungan pada tahun 1973). Selama hingga masa peletakan batu pertama, ia tinggal berbulan-bulan di Laguboti dengan biaya sendiri. Kemudian setelah peletakan batu pertama dan pembentukan pondasi bangunan, barulah ia kembali lagi ke daerah asalnya Jakarta. Pembangunan pun mulai berjalan. Pembangunan dimulai pada tahun 1974 dan berakhir pada tahun 1975. Dana pembangunan diperoleh dari anak-anak rantau yang bermarga Hutapea. Selain itu, dana juga diperoleh dari dana gotong royong penduduk sekitar walaupun nilai yang diperoleh tergolong kecil.  Pada saat perencanaan pembangunan, rasa percaya anak rantau mengenai pemegangan dan pengendalian biaya kepada penduduk setempat masih sangat kecil karena mereka (anak rantau) masih beranggapan bahwa dana yang telah dikumpulkan dari anak rantau akan habis dimakan oleh para tetua-tetua dan penduduk setempat. Banyak juga keturunan Hutapea yang telah merantau tidak perduli dengan pendirian dan perawatan tugu Hutapea. Padahal, mereka sudah menjadi orang berkecukupan misalnya pengacara ternama yaitu Hotman Paris Hutapea.
            Pada waktu acara pesta peresmian tugu ini, semua keluarga besar Hutapea se-Indonesia diundang untuk menghadiri acara itu, tetapi dikarenakan kondisi, sehingga setiap wilayah tidak dapat dihadiri oleh seluruh keluarga besar Hutapea, melainkan hanya diwakilkan oleh beberapa orang saja dari setiap wilayahnya.

3.2  Maksud dan Tujuan Tugu[18]
            Kemudian, Tugu didirikan untuk menunjukkan rasa persatuan yang erat.  Pada saat tugu telah selesai dibangun, diadakan pesta / gondang selama 3 hari 3 malam oleh seluruh keturunan ompu Hutapea di tugu itu. Pembuka gondang adalah marga Sitorus karena mereka merupakan hula-hula dari Hutapea. Pada saat itu juga hadir seorang sintua yang bernama Sintua Efraim Hutapea yang telah berumur 80-an tahun. Tetapi dia disitu bukanlah hadir sebagai perwakilan pihak gerejani dikarenakan tidak ada peran gereja diberikan untuk membuka acara pesta, sehingga acara langsung dimulai dengan adat.
            Ukuran tanah daerah tugu ini yaitu 15 x 15 Meter. Tujuan pembangunan tugu ini adalah sebagai symbol penghormatan kepada orangtua. Perawatan tugu Hutapea ini kurang diperhatikan, hal itu tampak dari kondisi sekitar tugu yang kurang terawat, dimana terdapat ilalang yang lebat dan juga hewan ternak yang bebas masuk. Memang sekali-sekali yang membersihkan tugu ini adalah penduduk sekitar yang memiliki niat untuk membersihkannya.

3.3  Penggunaan dan Pengembangannya[19]
            Dalam proses pengadaan kegiatan di tugu ini, tidak adanya jadwal yang rutin. Kegiatan hanya akan dilakukan bila telah diadakan kesepakatan bersama. Padahal harapan oleh para beberapa tokoh Hutapea supaya dapat diadakan perkunjungan rutin. Kegiatan yang sering dilakukan yaitu hanyalah sekedar berdoa. Narasumber mengatakan bahwa janganlah karena adanya muatan politik di dalamnya karena mau mencalonkan diri sebagai anggota dewan baru kemudian melakukan kegiatan yang menyangkutpautkan tugu. Seperti kejadian yang pernah terjadi dimana ada seseorang yang sedang mencalonkan diri sebagai anggota dewan melakukan tindakan pemberian perhatian kepada tugu dengan cara mengecat ulang tugu itu. Tetapi ternyata cat yang digunakan memiliki warna yang serupa dengan bendera partainya.

3.4  Bentuk Kontruksi Bangunan Tugu[20]
            Konstruksi bangunan yang berbentuk rumah yang berada tepat di bawah tugu Hutapea, merupakan bangunan yang kemudian yaitu baru sekitar 10 tahun yang silam dibangun. Pembangunannya bertujuan supaya bentuk bangunannya dapat lebih baik, walau memang di bawah bangunan rumah itu dijadikan sebagai tempat peletakan sesajen berupa daun siri, telur, jeruk purut, rokok, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kegiatan ritus penyembahan kepada berhala di tempat itu untuk meminta restu kepada mendiang raja Hutapea. Pada dasarnya, bangunan tugu yang dibangun hanyalah berbentuk tiang yang menjulang ke atas dimana pada kontruksi bangunan paling bawah ditanam di dalamnya sisa-sisa tulang dari raja Hutapea dahulu yang telah dipindahkan dari makam sebelumnya yang berada tidak jauh dari keberadaan tugu itu. Bangunan ini pernah melakukan renovasi berupa pengecatan ulang seluruh bangunan dan penambahan bangunan yang berbentuk rumah tadi.
            Tugu Hutapea memiliki tiga tiang yang menjulang ke atas dengan bentuk ujung yang menyatu. Ketiga tiang itu menggambarkan bahwa terdapat tiga anak dari raja Hutapea dahulu kala. Ketiga anaknya itu yaitu : Raja Oloan, Raja Bonanionan, dan Raja Turbanahapal. Di ujung tiang tertinggi dari tugu ini terdapat guci, hajo (bambu), dan tulisan batak dahulu. Guci ini menandakan bahwa raja Hutapea dahulu kala dapat mengobati.
            Di konstruksi bangunan tugu ini tidak tampak symbol-simbol kekristenan. Karena memang menurut narasumber bahwa tugu ini bukanlah kuburan awal dari raja Hutapea sehingga tidak perlu terdapat symbol kekristenan berupa salib.

3.5  Pengaruh kepada Masyarakat[21]
            Bagaimana dengan konsep kepercayaan tradisional orang Batak pada tugu ini? Masih ada kah penghormatan leluhur, seperti upacara-upacara tertentu pada tugu ini? Berdasarkan wawancara kami, didapatkan hasil bahwa dahulunya masih ada upacara-upacara pemeberian sesajen berupa makanan (biasanya ayam), jeruk purut dan tembakau. Selain itu masih ada juga orang-orang berziarah dan berobat ke tugu ini. Namun ada juga yang kesurupan (hasurupan) ketika mengunjungi tugu ini. Ada juga yang mengunjungi tugu ini dengan harapan sebagai penyumbang vinansial untuk perawatan. Setelah kelompok kami mendengar pernyataan tersebut, kami mengajukan pertanyaan sebagai berikut: “Bagaimana tanggapan Bapak tentang hal ini jika dihubungkan dengan iman Kristiani (agama) mereka?” Menurut Amang Hutapea, meskipun mereka beragama Kristen, tetapi mereka tetap saja tidak dapat lepas dari budaya sejarah. Memang secara agama hal tersebut salah,tetapi tetap saja ada yang datang untuk memberi persembahan dengan motif mengikuti budaya sejarah tersebut.

IV.             Analisa Terhadap Hasil Wawancara
            Kesamaan nama marga Hutapea Laguboti dan Hutapea Tarutung bukan berarti kedua marga ini memiliki garis keturunan yang sama. Terkadang masih ada beberapa orang bermarga Hutapea yang masih kebingungan ketika ditanyakan Hutapea dari mana. Ini jugalah yang dirasakan oleh seorang Direktur Bank di Jakarta yang bermarga Hutapea. Setelah ia mendapat pesan dari keluarganya di Kampung, bahwasannya dia adalah Hutapea dari Laguboti, dan tanpa sengaja juga, pada saat itu juga sedang dilaksanakan perencanaan pebangunan Tugu oleh para penatua-penatua yang ada di Laguboti. Ia langsung berangkat dari Jakarta ke Laguboti untuk menghampiri penatua dan membicarakan perencanaan Tugu tersebut. Disini Kelompok melihat hal positif bahwa Pembangunan Tugu bagi orang Batak adalah ingin meneguhkan dan mempersatukan orang-orang yang satu marga dimanapun mereka berada. Selain itu juga, untuk menunjukkan Eksistensi dari marga itu sendiri kepada masyarakat, khususnya marga yang lain. Kemudian, dalam awal proses pembangunannya  dan bantuan yang diberikan oleh seorang Direktur Bank yang kita lihat, Pembangunan Tugu juga menjadi penggambaran dari perasaan senang, bangga, dan kepedulian akan identitas marga yang dipakainya.
            Tugu juga didirikan untuk menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesatuan sesama marga, dan hal itu telah ditunjukkan melalui kegiatan gotong-royong yang dilakukan penduduk sekitar untuk mengumpulkan dana pembangunan tugu. Kemudian juga terlihat dari dana pembangunan Tugu yang terkumpulkan dari anak-anak perantauan. Yang di salutkan disini adalah, kekuatan Tugu yang mampu menggerakkan hati anak-anak rantau dan menumbuhkan keperduliannya terhadap keluarga satu marganya. Tetapi yang kelompok sesalkan, Anak-anak rantau dan warga sekitar lebih mengutamakan pembangunan dan perawatan tugu mereka sendiri, dibanding memajukan kehidupan masyarakat atau keluarga mereka atau keluargannya. Setidaknya mereka dapat membangun Sekolah, Puskesmas, Lapangan Kerja, dan lainnya dibanding dengan mengutamakan Tugu terlebih dahulu.
            Hal Negatif yang dipandang kelompok : melihat masyarakat di Laguboti terutama yang bermarga Hutapea Laguboti, tentunya mayoritas telah menganut agama Kristen.  Namun dengan kehadiran Tugu tersebut, memberikan dampak negatif terhadap jemaat Kristen. Ini terlihat dari orang Kristen Batak yang masih melakukan ritus-ritus menyembah dan meminta restu kepada mendiang Raja Hutapea sambil memberikan sesajen berupa daun sirih, telur, jeruk purut, rokok, dan sebagainya. Dari satu sisi juga kelompok melihat,bahwa tidak menutup kemungkinan, ternyata masih ada rasa fanatik akan leluhur dalam jiwa masyarakat sekitar. Masyarakat yang masih lebih mengutamakan kebudayaan adat Batak, dan pemujaan nenek-moyang dengan menutup mana terhadap agama Kristen yang di anutnya. Bahkan hal yang dipandang kelompok sangat fatal, adalah Seorang Penatua atau Sintua Gereja yang bernama St. Efraim Hutapea, ketika awal jadinya bangunan Tugu, diadakannya Pesta Adat selama 3 hari- 3malam oleh seluruh keturunan ompu Hutapea di tugu itu dengan membawa sesajen. Dikatakan juga bahwa Beliau hadir bukan sebagai perwakilan gerejani, karena tidak ada peran gereja diberikan untuk membuka acara pesta. Disini kita melihat bahwa Orang Kristen Batak, lebih mengesampingkan Agamanya dan mengutamakan Kebiasaan Adat yang dulu. Selain itu juga, ini menunjukkan Kerohanian dan Keimanan masyarakat Kristen Batak yang masih kurang, dan Tidak adanya peranan gereja terhadap hal ini.

V.                Pandangan Etika Kristen Terhadap Penghormatan Kepada Orang Meninggal
            Berangkat dari Tujuan orang Batak membangun Tugu, yaitu untuk mengenang dan menghormati Roh Leluhur atau Nenek Moyang yang telah meninggal. Pada bagian ini kelompok akan memberikan Pandangan menurut Etika Kristen terhadap Hal itu.
            Secara pandangan Alkitab, telah dibuktika tidak ada lagi hubungan yang mati dan orang-orang yang telah meninggal (Peng 9: 5-6), jadi pemujaan kepada Roh nenek moyang adalah hal yang tidak Kristiani dan ini adalah bentuk pembangkangan terhadap etika Kristen. Dalam Hukum Taurat ke-2 ditegaskan bahwa Allah melarang bangsa Israel untuk membuat patung menyerupai apapun dan dimanapun, Allah melarang bangsa Israel untuk menyembah hal-hal yang demikian (Kel. 20: 4-5). Menghormati Orang tua dilakukan pada waktu semasa hidup mereka, jika hal tersebut dilakukan setelah meninggal itu tidak ada lagi gunanya dihadapan Allah. Apalagi sampai memberikan persembahan dengan maksud meminta berkat, maka hal ini sama sekali tidaklah benar. Tuhan melarang umatNya untuk memper-Tuhankan nenek moyang, Dia melarang untuk menyampaikan kurban-kurban dan sajian-sajian.[22]
            Memang di Alkitab dikatakan bahwa manusia adalah gambaran dan rupa Allah. Namun walaupun demikian manusia bukanlah Allah, Allah adalah pencipta dan manusia adalah ciptaan. Ada perbandingan yang membedakan antara Allah dengan Allah dan manusia. Artinya manusia senantiasa dipelihara oleh hukum dan kehendak Allah sampai selama-lamanya, jadi ketaatan manusia kepada Allah bersifat kekal.[23] Walaupun manusia diharuskan taat sepenuhnya terhadap Allah bukan berarti bahwa mereka tidak boleh menghormati orang tuanya (Mrk 7:9-13), Tuhan Yesus mengkritik sistem adat masyarakat Yahudi yang terlalu menekankan hormat kepada ahli-ahli taurat dan mengabaikan hormat pada orang tua. Yesus menekankan bahwa orang tua harus dihormati tapi wujud hormat itu tidak boleh sampai menyembah mereka sehingga menduakan Allah. Menurut Hukum Taurat ke-5 hormat kepada orang tua adalah wujud dari penghormatan kepada Allah dengan cara peduli, menghargai, memelihara, dan memperhatikan.[24]
            Dalam perjanjian Baru, Istilah tugu dapat kita temukan didalam Mat. 23:29, “Celakalah kamu hai ahli-ahli taurat dan orang-orang farisi, hai kamu orang-orang munafik sebab kamu membangun makam nabi-nabi dan pemberindah tugu orang-orang saleh”. Dengan demikian, berarti Yesus melarang melarang orang-orang membangun tugu, karena pada umumnya tugu-tugu ini digunakan untuk penyembahan berhala. Jadi bagaimana konsep yugu yang sebenarnya? Paulus mengatakan bahwa Tugu yang sebenarnya (Tugu Kebenaran) adalah Gereja (bnd 1 Tim. 3:15). Disini dijelaskan bahwa Alkitab memandang pembangunan tugu bukan sebagai penghormatan terhadap nenek moyang dan tempat penyimpanan tulang-belulang orang yang sudah meninggal, tetapi sebagai peringatan atas keagungan dan kebesaran Tuhan Allah yang senantiasa melindungi, membimbing dan membebaskan bangsa-Nya.[25]







BAB III
PENUTUP
Ø  Refleksi
            Manusia diberikan Allah kebebasan tapi kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang bertanggungjawab, kebebasan untuk melakukan hal-hal yang berkenan baig Allah serta bertanggungjawa dalam melaksanakan kehendak-Nya. [26]Karena pengaruh utama bagi etika seseorang adalah imannya.[27] Iman Kristen adalah dinamis dan selalu berpusat pada Kristus yang didalamnya Allah berkarya, dan berkat keselamatan kepada seluruh orang percaya mengalir dari pengorbanan-Nya di kayu Salib. Jadi tidak ada berkat dari roh leluhur, karena sebagai yang ada di dunia adalah ciptaan Alah, jadi bila kita menyembah ciptaan-Nya dan mengabaikan Tuhan, tentulah itu perbuatan Dosa. Iman yang benar akan memberikan dampak yang nyata dan Iman yang membebaskan. Iman Kristen adalah pembebasan, bebas dari pemujaan pada hal yang palsu, sesat dan bebas dari ketertindasan. Karena itu Iman Kristen.[28]
            Jadi bagi kita seorang Kristen yang beriman kepada Yesus Kristus, meskipun memiliki latarbelakang suku dan kebudayaan yang berbeda. Diajak untuk hidup berdasarkan iman Kristen. Bukan berarti untuk meninggalkan corak kebudayaan secara keseluruhan, tetapi diajak untuk dapat lebih baik lagi, dalam memilah gaya dan cara hidup yang berlandaskan Iman Kristen dan tentunya sesuai dengan Kehendak Allah.
Ø  Rencana Aksi
            Sebagai Recana Aksi kelompok untuk menghadapi Studi kasus yang kami teliti, kami melihat yang paling berperan dalam hal ini adalah Gereja yang harus lebih menunjukkan Eksistensi dan Suara kenabiannya di tengah-tengah masyarakat Batak. Gereja harus bisa lebih memfokuskan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat Batak mengenai Tugu. Dimana Tugu hanyalah sebatas untuk pengetahuan akan garis keturunan, dan sebagai Bukti yang Memperasatukan dan membangun hubungan yang erat dalam satu Marga dalam menumbuhkan rasa kebersamaan, dan dalam tindakan kehidupan selebihnya haruslah berlandaskan kepada Firman Allah.
Ø  Kesimpulan
            Tugu bagi orang Batak merupakan monument yang tidak hanya sekedar bangunan biasa. Tugu dibangun oleh Orang Batak sendiri sebagai wujud kebersamaan semarga, dan juga untuk menghormati para leluhur atau nenek-moyang orang Batak sendiri karena itu, karena itu tulang-belulang leluhur atau orang tua disimpan di Tugu tersebut. Setelah itu, sebagai wujud penghormatan manusia terhadap leluhurnya, dan cara untuk meminta berkat dari leluhurnya, masih ada beberapa orang Batak yang melakukan ritual-ritual acara menyembah dan membawa persembahan ke Tugu.
            Mengenai Pemujaan ini pastinya sangatlah ditentang oleh Pandangan Kristen, karena hal itu termasuk pada penyembahan Berhala. Alkitab berpandangan Leluhur atau Orang tua haruslah dihormati ketika masa hidupnya (Taurat ke-5), jika menghormati dan apalagi memujanya setelah mati itu merupakan penyembahan berhala, dan pastinya merupakan bentuk pelanggaran terhadap Kehendak Allah













DAFTAR PUSTAKA

Saleh.M,                                  Seni Patung Batak dan Nias, Direktorat Jendral Kebudayaan,
            1980

Schreiner, Lothar,                   Adat dan Injil, BPK Gunung Mulia, Jakarta
            2003

Suhunan Situmorang,              Sordam, Gagas Media, Depok
            2005

KBBI,                                                 Balai Pustaka, Jakarta
            1990

Amudi Pasaribu,                     Pembangunan tugu dari segi Sosial-Ekonomi, B.A                                                           Simanjuntak (ed) dalam Pemikiran Tentang Batak,                                                            Universitas HKBP Nommensen, Medan
            1986

Darwin Lumbantobing,           Teologi di Pasar Bebas, L-SAPA, Pematang Siantar
            2007

Bungaran A. Simanjuntak,      Pemikiran Tentang Batak, Yayasan Pustaka Obor Indonesia,                                            Jakarta
            2011

Clude Guillot,                         Lobu Tua Sejarah Awal Barus, Yayasan Pustaka Obor                                                     Indonesia, Jakarta
            2002

J. Verkuyl,                               Etika Kristen Kapita Selekta, BPK Gunung Mullia,
            1989


Karel Sosipater,                       Etika Perjanjian Lama, Suara Harapan Bangsa, Jakarta
            2010

E.D.R Hutauruk,                     Pembangunan Tugu Nenek Moyang Orang Batak Ditijau Dari                                            Segi Iman Kristen, dalam, Tidak Ada Yang Mustahil Bagi                                                Allah, J.R Hutauruk, TP, Pematang Siantar,
            1986.
K. Bertens,                              Etika, PT. Gramedia, Jakarat
            1994

Malcolm Brownlee,                 Pengambilan Keputusan Etis, BPK Gunung Mulia, Jakarta           1989

Soedjatmoko,                          Etika Pembebasan, LP3S, Jakarta
            1984
Hasil Penelitian Kelompok, 15 Oktober 2016, Kampung Hutapea, Laguboti



[1] Saleh.M, Seni Patung Batak dan Nias, (Direktorat Jendral Kebudayaan, 1980),  78
[2] Schreiner, Lothar, Adat dan Injil, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 182
[3] Suhunan Situmorang, Sordam, (Depok: Gagas Media, 2005), 173
[4] KBBI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 176
[5] Amudi Pasaribu, Pembangunan tugu dari segi Sosial-Ekonomi, B.A Simanjuntak (ed) dalam Pemikiran Tentang Batak, (Medan: Universitas HKBP Nommensen, 1986), 182
[6] Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, (Pematang Siantar; L-SAPA, 2007) 352
[7] Amudi Pasaribu, Pembangunan tugu dari segi Sosial-Ekonomi, 183
[8] Bungaran A. Simanjuntak, Pemikiran Tentang Batak, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), 250
[9] Schreiner, Lothar, Adat dan Injil, 182.

[10] Hasil Penelitian Kelompok, 15 Oktober 2016, Kampung Hutapea, Laguboti
[11] Clude Guillot,  Lobu Tua Sejarah Awal Barus, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2002), 238
[12] Bungaran A. Simanjuntak, Pemikiran Tentang Batak, 252
[13] Hasil Penelitian Kelompok, 15 Oktober 2016, Kampung Hutapea, Laguboti
[14] Bungaran A. Simanjuntak, Pemikiran Tentang Batak, 248
[15] Bungaran A. Simanjuntak, Pemikiran Tentang Batak, 254
[16] Schreiner, Lothar, Adat dan Injil,185.
[17] Hasil Penelitian Kelompok, 15 Oktober 2016, Kampung Hutapea, Laguboti
[18] Hasil Penelitian Kelompok, 15 Oktober 2016, Kampung Hutapea, Laguboti
[19] Hasil Penelitian Kelompok, 15 Oktober 2016, Kampung Hutapea, Laguboti
[20] Hasil Penelitian Kelompok, 15 Oktober 2016, Kampung Hutapea, Laguboti
[21] Hasil Penelitian Kelompok, 15 Oktober 2016, Kampung Hutapea, Laguboti
[22] J. Verkuyl, Etika Kristen Kapita Selekta, (Jakarta: BPK Gunung Mullia, 1989), 31
[23] J. Verkuyl, Etika Kristen Kapita Selekta, 32
[24] Karel Sosipater, Etika Perjanjian Lama, (Jakarta: Suara Harapan Bangsa, 2010), 92
[25] E.D.R Hutauruk, Pembangunan Tugu Nenek Moyang Orang Batak Ditijau Dari Segi Iman Kristen, dalam, Tidak Ada Yang Mustahil Bagi Allah, J.R Hutauruk, (Pematang Siantar: TP, 1986), 148.
[26] K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT. Gramedia, 1994), 91
[27] Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1989), 70
[28] Soedjatmoko, Etika Pembebasan, (Jakarta: LP3S, 1984) , 207-210