BAB I
PENDAHULUAN
Kebudayaan daerah dengan segala
jenis corak dan gaya dari adat, seni, dan lainnya menjadi pembeda suatu suku
dengan suku lain. Di penghujung abad XX ini, kesenian tradisional Batak
khususnya seni patung tidak begitu banyak dibicarakan. Hal itu disebabkan
patung-patung hasil karya peninggalan nenek moyang banyak yang sudah punah.
Boleh disebabkan di daerah Batak pada umumnya sudah banyak yang memeluk agama
Islam dan Kristen, sedangkan agama parmalim, yang menjadi kepercayaan awal suku
Batak sudah jarang yang menganutnya. Kemungkinan-kemungkinan lain boleh jadi
penilaian terhadap kesenian rakyat tradisional dianggap sudah tidak sesuai lagi
dalam lingkungan masyarakat Batak yang hidup di zaman modern sekarang. Meski
begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa masih ada saja suku Batak yang masih
fanatik terhadap leluhurnya, seni patung berkembang terus dan bahkan
menampilkan kembali leluhur nenek moyang, baik berupa patung atau tugu.[1]
Dengan adanya tugu-tugu ini,
pemujaan nenek-moyang ditanah Batak telah mendapat suatu perwujudan yang
seharusnya mendapat perhatian kita. Sejak permulaan tahun limapuluhan jumlah
tugu-tugu di tanah batak menanjak sedemikian mencolok, hingga ini dapat disebut
sebagai bangunan dan suatu gerakan.[2]
Orang-orang batak sekarang sepertinya hanya berlomba-lomba membangun tugu marga
dan juga mengembangkan tugu masing-masing marganya, yang semakin lama
arsitekturnya mengada-ada. Penampilan tugu-tugu masa kini sebagai lambang
perwujudan kembali rupa nenek-moyang, bentuk dan gayanya lebih mengarah kepada
gaya naturalis.[3]
Maka itu, pada tulisan ini, akan
membahas mengenai Tugu bagi orang dengan hasil penelitian kelompok mengenai
Tugu di daerah Laguboti, pada tanggal 15 Oktober 2016, di Laguboti, tepatnya di
Kampung Hutapea.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Definisi Tugu
1.1 Secara Umum
Tugu dalam KBBi adalah Monumen yaitu
Tugu Peringatan, Tugu adalah sebagai Tiang besar dan tinggi dibuat dengan batu
dimana tugu sebagai tanda peringatan terhadap sesuatu.[4]
Istilah Tugu dapat disamakan dengan arti Monument
dalam bahasa Inggris yaitu menurut kamus The
New Oxford Illistrated Dictionary. Tugu adalah segala sesuatu yang telah
melalui ketahanan yang sangat lama dipakai untuk mengenang seseorang, kegiatan,
atau kejadian. Arti Kedua yang disebut dalam kamus tersebut adalah pekerjaan
atau hasil karya yang bernilai kekal. Tugu disbeut sebagai bangunan atau lokasi
alamiah yang dilestarikan karena keindahan arti sejarahnya.[5]
Menurut S.M Hutagalung, Tugu yang disebut monument adalah suatu bangunan
sebagai tanda peringatan untuk mengenang suatu jasa dan kebesaran sera
keagungan seorang tokoh yang sudah meninggal. Tugu dalam arti monument adalah
berarti suatu peringatan atau suatu memorial yang berbentuk bangunan yang didirkan
guna memperingati suatu kejadian besar dan penting dalam sejarah, atau
menghidupi serta memelihara peringatan kepada perorangan yang sudah meninggal.[6]
1.2 Secara Khusus (Batak)
Salah satu kebudayaan
tertua yang masih dilakukan manusia adalah penghormatan kepada leluhur yang
sudah meninggal, yaitu dengan mengadakan pembangunan Tugu. Pada awalnya orang
Batak Toba belum mengenal istilah Tugu, tetapi dahulu yang ada adalah Tambak yaitu Makam (kuburan) yang
ditinggikan dengan menyusun lempengan tanah dimakam orang tua yang sudah
memiliki banyak keturunan. Bagi
orang Batak, tugu diartikan sebagai ‘suman atau sumansuman’. Suman ini mereka
buat dari batu yang dipahat dan harus ada sumannya atau miripnya dengan nenek
moyang yang dimaksud. [7]
II.
Latar Belakang
Pembangunan Tugu
2.1 Berdirinya
Pembangunan tugu secara besar-bsaran
di tanah Batak terjadi dalam dasawarsa 1955-1965. Sesudah itu, berkurang dan
hampir hilang selama beberapa tahun. Namun demikian, kegiatan tersebut timbul
kembali pada tahun terakhir ini dan nampaknya berkembang secara lebih menggebu.[8]
Pembangunan tugu bermula dari pembangunan
patung-patung di tanah Batak sejak tahun 50-an yang sangat melonjak, sehingga
pembangunan tugu ini disebut sebagai suatu gerakan. Dan gerakan ini kembali
memusatkan didaerah-daerah pusat Batak di sekitar Danau Toba. Gerakan ini juga
dapat dilihat dari sudut kebijaksanaan lembaga-lembaga pemerintahan dibidang
kebudayaan, maupun sudut religi-etnologis, yakni pendirian dan penahbisan
‘Mausoleum’ (kuburan mewah) bagi datu terakhir, Sisingamangaraja XII. Mausoleum
ini terletak di Soposurung, Balige. Intinya, bahwa pembangunan tugu Batak ada
hubungannya dengan Mausoleum Sisingamangaraja XII.[9]
Berdasarkan hasil penelitian kami
terhadap Tugu Hutapea Lagu Boti, Pembukaan wacana
pembangunan Tugu dimulai oleh seorang perantau Jakarta bermarga Hutapea yang
berasal dari Sarulla. Dia merupakan salah seorang direktur bank yang ada di
Jakarta. Dia sendiri mengaku bahwa marga Hutapea yang dimiliki masihlah samar.
Karena dia masih belum yakin mengenai asal usul marga Hutapea yang telah ia
kenakan sejak lahir. Apakah Hutapea yang berasal dari Tarutung atau Hutapea
yang berasal dari Laguboti. Ketika ada
pesan dari keluarganya (tepatnya ompung)
yang sampai ke Jakarta bahwa dia berasal dari Hutapea Laguboti. Dan tanpa
disengaja, pada saat itu telah ada perencanaan pembangunan tugu oleh para tetua
yang ada di Laguboti. Kemudian ketika mendengar itu, dia segera berangkat ke
Laguboti dari Jakarta pada tahun 1973. Di Laguboti, dia segera menghampiri para
tetua yang ada disitu dan membicarakan perencanaan pembangunan. Setelah mereka
setuju untuk memulai pembangunan, dia segera memesan material-material bangunan
yang dibutuhkan dari panglong / Toko
bangunan. Dia juga memberikan panjar pembangunan kepada tetua senilai 5 Juta
(hitungan pada tahun 1973). Selama hingga masa peletakan batu pertama, ia
tinggal berbulan-bulan di Laguboti dengan biaya sendiri. Kemudian setelah
peletakan batu pertama dan pembentukan pondasi bangunan, barulah ia kembali
lagi ke daerah asalnya Jakarta. Pembangunan pun mulai berjalan. Pembangunan
dimulai pada tahun 1974 dan berakhir pada tahun 1975. Dana pembangunan diperoleh dari
anak-anak rantau yang bermarga Hutapea. Selain itu, dana juga diperoleh dari
dana gotong royong penduduk sekitar walaupun nilai yang diperoleh tergolong
kecil. Pada saat perencanaan
pembangunan, rasa percaya anak rantau mengenai pemegangan dan pengendalian
biaya kepada penduduk setempat masih sangat kecil karena mereka (anak rantau)
masih beranggapan bahwa dana yang telah dikumpulkan dari anak rantau akan habis
dimakan oleh para tetua-tetua dan penduduk setempat.[10] Berdirinya bangunan Tugu,
berhubungan dengan migrasi orang Batak ke kota-kota di Sumatera dan Jawa. Di
Kota-kota ini persaingan dengan kelompok etnik lain menimbulkan munculnya
perkumpulan anggota-anggota semarga yang memperkuat jati diri Orang Batak Toba.
Mereka merantau dan menyumbangkan dana untuk pembangunan Tugu, disamping
meningkatkan martabat diri sendiri, juga menguatkan kembali posisinya dalam
silsilah dan ikatan hatinya dengan tanah leluhur, sumber keramat marganya.[11]
2.2 Fungsi
dan Manfaat Tugu Bagi Orang Batak
Manfaat yang diperoleh dari pembangunan tugu
berdasarkan faedah sosial, adalah supaya tidak kalah dengan kegiatan serupa
dari kelompok lain. Dalam kegiatan pembangunan tugu itu, juga muncul
persaingan. Sering terdengar bahwa kegiatan membangun tugu adalah alat
pemersatu kelompok, marga, atau cabang marga. Bila hal ini mempunyai kebenaran,
maka ini aladalah dampak yang positif.[12]
Tugu
didirikan untuk menunjukkan rasa persatuan yang erat. Pada saat tugu telah selesai dibangun,
diadakan pesta / gondang selama 3
hari 3 malam oleh seluruh keturunan ompu
Hutapea di tugu itu.[13]
2.3 Tujuan
Pembangunan Tugu
Kebanyakan
tugu tersebut biasanya dibangun untuk memperingati seseorang, yaitu dari tugu
tersebut biasayanya dibangun untuk memperingati seseorang, yaitu nenek moyang
satu marga atau satu cabang marga. Biasanya orang yang diperingati dengan tugu
adalah orang yang berjasa atau berpengorbanan besar dalam suatu bidang tertentu
kehidupan manusia. Namun kebanyakan dari tugu yang dibangun di tanah Batak,
dimaksudkan untuk memperingati orang yang tidak jelas jasa atau pengorbanannya,
kecuali bahwa mereka menjadi nenek atau nenek moyang bagi sekelompok manusia.[14]
Para perantau yang menyumbang dana terbesar kepada pembangunan tugu, sering
terdengar berkata bahwa mereka memandang pembangunan tugu sebagai salah satu
dari cara mereka membangun penduduk Bona Pasogit.[15]
Tujuan dari Pembangunan Tugu juga
untuk menunjukkan Identitas suatu Marga. Dalam hal ini tujuan
pembangunan Tugu Batak dilatarbelakangi dari kelompok marga yang saompu
tersebut. Ompu mereka disebut dengan ‘ompu parsadaan’. Tujuan ini timbul karena
melihat bahwa masyarakat (para perantau) di kota besar tidak lagi dibedakan
menurut suku bangsa, sehingga mereka kurang mengenal ‘ompu parsadaan’ tersebut.
Oleh karena itu lah pembangunan tugu dilakukan oleh kelompok tersebut dengan
diawali pesta penggalian tulang-belulang. Proses ini dilakukan dengan tujuan
melawan berseraknya dan runtuhnya persekutuan (pada umumnya para perantau di kota) marga tersebut.[16]
III.
Hasil
Wawancara
TUGU HUTAPEA LAGUBOTI
3.1 Latar
Belakang beridirinya Tugu[17]
Tugu ini berdiri
karena kesepakatan para keturunan ompu Hutapea. Mereka bersepakat melakukan
rapat mengenai program dan perancanaan pembangunan. Dalam proses rencana
pendirian menghabiskan waktu yang begitu panjang, yaitu selama 5 tahun. Dalam
melakukan pendirian Tugu diperlukan perencanaan yang matang untuk itu. Terlebih
hal yang menyangkut mengenai pendanaan karena dana yang dibutuhkan untuk
pembangunan Tugu bukanlah dana yang sedikit. Pembukaan wacana pembangunan Tugu
dimulai oleh seorang perantau Jakarta bermarga Hutapea yang berasal dari
Sarulla. Dia merupakan salah seorang direktur bank yang ada di Jakarta. Dia
sendiri mengaku bahwa marga Hutapea yang dimiliki masihlah samar. Karena dia
masih belum yakin mengenai asal usul marga Hutapea yang telah ia kenakan sejak
lahir. Apakah Hutapea yang berasal dari Tarutung atau Hutapea yang berasal dari
Laguboti. Ketika ada pesan dari
keluarganya (tepatnya ompung) yang
sampai ke Jakarta bahwa dia berasal dari Hutapea Laguboti. Dan tanpa disengaja,
pada saat itu telah ada perencanaan pembangunan tugu oleh para tetua yang ada
di Laguboti. Kemudian ketika mendengar itu, dia segera berangkat ke Laguboti
dari Jakarta pada tahun 1973. Di Laguboti, dia segera menghampiri para tetua
yang ada disitu dan membicarakan perencanaan pembangunan. Setelah mereka setuju
untuk memulai pembangunan, dia segera memesan material-material bangunan yang
dibutuhkan dari panglong / Toko
bangunan. Dia juga memberikan panjar pembangunan kepada tetua senilai 5 Juta
(hitungan pada tahun 1973). Selama hingga masa peletakan batu pertama, ia
tinggal berbulan-bulan di Laguboti dengan biaya sendiri. Kemudian setelah
peletakan batu pertama dan pembentukan pondasi bangunan, barulah ia kembali
lagi ke daerah asalnya Jakarta. Pembangunan pun mulai berjalan. Pembangunan
dimulai pada tahun 1974 dan berakhir pada tahun 1975. Dana pembangunan
diperoleh dari anak-anak rantau yang bermarga Hutapea. Selain itu, dana juga
diperoleh dari dana gotong royong penduduk sekitar walaupun nilai yang
diperoleh tergolong kecil. Pada saat
perencanaan pembangunan, rasa percaya anak rantau mengenai pemegangan dan
pengendalian biaya kepada penduduk setempat masih sangat kecil karena mereka
(anak rantau) masih beranggapan bahwa dana yang telah dikumpulkan dari anak
rantau akan habis dimakan oleh para tetua-tetua dan penduduk setempat. Banyak juga keturunan Hutapea yang
telah merantau tidak perduli dengan pendirian dan perawatan tugu Hutapea.
Padahal, mereka sudah menjadi orang berkecukupan misalnya pengacara ternama
yaitu Hotman Paris Hutapea.
Pada
waktu acara pesta peresmian tugu ini, semua keluarga besar Hutapea se-Indonesia
diundang untuk menghadiri acara itu, tetapi dikarenakan kondisi, sehingga
setiap wilayah tidak dapat dihadiri oleh seluruh keluarga besar Hutapea,
melainkan hanya diwakilkan oleh beberapa orang saja dari setiap wilayahnya.
3.2 Maksud
dan Tujuan Tugu[18]
Kemudian,
Tugu
didirikan untuk menunjukkan rasa persatuan yang erat. Pada saat tugu telah selesai dibangun,
diadakan pesta / gondang selama 3
hari 3 malam oleh seluruh keturunan ompu
Hutapea di tugu itu. Pembuka gondang
adalah marga Sitorus karena mereka merupakan hula-hula dari Hutapea. Pada saat itu juga hadir seorang sintua
yang bernama Sintua Efraim Hutapea yang telah berumur 80-an tahun. Tetapi dia
disitu bukanlah hadir sebagai perwakilan pihak gerejani dikarenakan tidak ada
peran gereja diberikan untuk membuka acara pesta, sehingga acara langsung
dimulai dengan adat.
Ukuran
tanah daerah tugu ini yaitu 15 x 15 Meter. Tujuan pembangunan tugu ini adalah
sebagai symbol penghormatan kepada orangtua. Perawatan tugu Hutapea ini kurang
diperhatikan, hal itu tampak dari kondisi sekitar tugu yang kurang terawat,
dimana terdapat ilalang yang lebat dan juga hewan ternak yang bebas masuk.
Memang sekali-sekali yang membersihkan tugu ini adalah penduduk sekitar yang
memiliki niat untuk membersihkannya.
3.3 Penggunaan
dan Pengembangannya[19]
Dalam
proses pengadaan kegiatan di tugu ini, tidak adanya jadwal yang rutin. Kegiatan
hanya akan dilakukan bila telah diadakan kesepakatan bersama. Padahal harapan
oleh para beberapa tokoh Hutapea supaya dapat diadakan perkunjungan rutin.
Kegiatan yang sering dilakukan yaitu hanyalah sekedar berdoa. Narasumber
mengatakan bahwa janganlah karena adanya muatan politik di dalamnya karena mau
mencalonkan diri sebagai anggota dewan baru kemudian melakukan kegiatan yang
menyangkutpautkan tugu. Seperti kejadian yang pernah terjadi dimana ada
seseorang yang sedang mencalonkan diri sebagai anggota dewan melakukan tindakan
pemberian perhatian kepada tugu dengan cara mengecat ulang tugu itu. Tetapi
ternyata cat yang digunakan memiliki warna yang serupa dengan bendera partainya.
3.4 Bentuk
Kontruksi Bangunan Tugu[20]
Konstruksi
bangunan yang berbentuk rumah yang berada tepat di bawah tugu Hutapea,
merupakan bangunan yang kemudian yaitu baru sekitar 10 tahun yang silam
dibangun. Pembangunannya bertujuan supaya bentuk bangunannya dapat lebih baik,
walau memang di bawah bangunan rumah itu dijadikan sebagai tempat peletakan
sesajen berupa daun siri, telur, jeruk purut, rokok, dan lain sebagainya. Hal
ini menunjukkan bahwa terdapat kegiatan ritus penyembahan kepada berhala di
tempat itu untuk meminta restu kepada mendiang raja Hutapea. Pada dasarnya,
bangunan tugu yang dibangun hanyalah berbentuk tiang yang menjulang ke atas
dimana pada kontruksi bangunan paling bawah ditanam di dalamnya sisa-sisa
tulang dari raja Hutapea dahulu yang telah dipindahkan dari makam sebelumnya
yang berada tidak jauh dari keberadaan tugu itu. Bangunan ini pernah melakukan
renovasi berupa pengecatan ulang seluruh bangunan dan penambahan bangunan yang
berbentuk rumah tadi.
Tugu
Hutapea memiliki tiga tiang yang menjulang ke atas dengan bentuk ujung yang
menyatu. Ketiga tiang itu menggambarkan bahwa terdapat tiga anak dari raja
Hutapea dahulu kala. Ketiga anaknya itu yaitu : Raja Oloan, Raja Bonanionan,
dan Raja Turbanahapal. Di ujung tiang tertinggi dari tugu ini terdapat guci, hajo (bambu), dan tulisan batak dahulu. Guci
ini menandakan bahwa raja Hutapea dahulu kala dapat mengobati.
Di
konstruksi bangunan tugu ini tidak tampak symbol-simbol kekristenan. Karena
memang menurut narasumber bahwa tugu ini bukanlah kuburan awal dari raja
Hutapea sehingga tidak perlu terdapat symbol kekristenan berupa salib.
3.5 Pengaruh
kepada Masyarakat[21]
Bagaimana dengan konsep kepercayaan tradisional orang Batak
pada tugu ini? Masih ada kah penghormatan leluhur, seperti upacara-upacara
tertentu pada tugu ini? Berdasarkan wawancara kami, didapatkan hasil bahwa
dahulunya masih ada upacara-upacara pemeberian sesajen berupa makanan (biasanya
ayam), jeruk purut dan tembakau. Selain itu masih ada juga orang-orang
berziarah dan berobat ke tugu ini. Namun ada juga yang kesurupan (hasurupan) ketika mengunjungi tugu ini.
Ada juga yang mengunjungi tugu ini dengan harapan sebagai penyumbang vinansial
untuk perawatan. Setelah kelompok kami mendengar pernyataan tersebut, kami
mengajukan pertanyaan sebagai berikut: “Bagaimana
tanggapan Bapak tentang hal ini jika dihubungkan dengan iman Kristiani (agama)
mereka?” Menurut Amang Hutapea, meskipun mereka beragama Kristen, tetapi mereka
tetap saja tidak dapat lepas dari budaya sejarah. Memang secara agama hal
tersebut salah,tetapi tetap saja ada yang datang untuk memberi persembahan
dengan motif mengikuti budaya sejarah tersebut.
IV.
Analisa
Terhadap Hasil Wawancara
Kesamaan
nama marga Hutapea Laguboti dan Hutapea Tarutung bukan berarti kedua marga ini
memiliki garis keturunan yang sama. Terkadang masih ada beberapa orang bermarga
Hutapea yang masih kebingungan ketika ditanyakan Hutapea dari mana. Ini jugalah
yang dirasakan oleh seorang Direktur Bank di Jakarta yang bermarga Hutapea.
Setelah ia mendapat pesan dari keluarganya di Kampung, bahwasannya dia adalah
Hutapea dari Laguboti, dan tanpa sengaja juga, pada saat itu juga sedang
dilaksanakan perencanaan pebangunan Tugu oleh para penatua-penatua yang ada di
Laguboti. Ia langsung berangkat dari Jakarta ke Laguboti untuk menghampiri
penatua dan membicarakan perencanaan Tugu tersebut. Disini Kelompok melihat hal
positif bahwa Pembangunan Tugu bagi orang Batak adalah ingin meneguhkan dan
mempersatukan orang-orang yang satu marga dimanapun mereka berada. Selain itu
juga, untuk menunjukkan Eksistensi dari marga itu sendiri kepada masyarakat,
khususnya marga yang lain. Kemudian, dalam awal proses pembangunannya dan bantuan yang diberikan oleh seorang
Direktur Bank yang kita lihat, Pembangunan Tugu juga menjadi penggambaran dari
perasaan senang, bangga, dan kepedulian akan identitas marga yang dipakainya.
Tugu juga didirikan untuk
menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesatuan sesama marga, dan hal itu telah
ditunjukkan melalui kegiatan gotong-royong yang dilakukan penduduk sekitar
untuk mengumpulkan dana pembangunan tugu. Kemudian juga terlihat dari dana
pembangunan Tugu yang terkumpulkan dari anak-anak perantauan. Yang di salutkan
disini adalah, kekuatan Tugu yang mampu menggerakkan hati anak-anak rantau dan
menumbuhkan keperduliannya terhadap keluarga satu marganya. Tetapi yang
kelompok sesalkan, Anak-anak rantau dan warga sekitar lebih mengutamakan
pembangunan dan perawatan tugu mereka sendiri, dibanding memajukan kehidupan
masyarakat atau keluarga mereka atau keluargannya. Setidaknya mereka dapat
membangun Sekolah, Puskesmas, Lapangan Kerja, dan lainnya dibanding dengan
mengutamakan Tugu terlebih dahulu.
Hal Negatif yang dipandang kelompok
: melihat masyarakat di Laguboti terutama yang bermarga Hutapea Laguboti,
tentunya mayoritas telah menganut agama Kristen. Namun dengan kehadiran Tugu tersebut,
memberikan dampak negatif terhadap jemaat Kristen. Ini terlihat dari orang
Kristen Batak yang masih melakukan ritus-ritus menyembah dan meminta restu
kepada mendiang Raja Hutapea sambil memberikan sesajen berupa daun sirih,
telur, jeruk purut, rokok, dan sebagainya. Dari satu sisi juga kelompok
melihat,bahwa tidak menutup kemungkinan, ternyata masih ada rasa fanatik akan leluhur
dalam jiwa masyarakat sekitar. Masyarakat yang masih lebih mengutamakan
kebudayaan adat Batak, dan pemujaan nenek-moyang dengan menutup mana terhadap
agama Kristen yang di anutnya. Bahkan hal yang dipandang kelompok sangat fatal,
adalah Seorang Penatua atau Sintua Gereja yang bernama St. Efraim Hutapea,
ketika awal jadinya bangunan Tugu, diadakannya Pesta Adat selama 3 hari- 3malam
oleh seluruh keturunan ompu Hutapea di tugu itu dengan membawa sesajen. Dikatakan
juga bahwa Beliau hadir bukan sebagai perwakilan gerejani, karena tidak ada peran
gereja diberikan untuk membuka acara pesta. Disini kita melihat bahwa Orang
Kristen Batak, lebih mengesampingkan Agamanya dan mengutamakan Kebiasaan Adat
yang dulu. Selain itu juga, ini menunjukkan Kerohanian dan Keimanan masyarakat
Kristen Batak yang masih kurang, dan Tidak adanya peranan gereja terhadap hal
ini.
V.
Pandangan Etika
Kristen Terhadap Penghormatan Kepada Orang Meninggal
Berangkat dari Tujuan orang Batak
membangun Tugu, yaitu untuk mengenang dan menghormati Roh Leluhur atau Nenek
Moyang yang telah meninggal. Pada bagian ini kelompok akan memberikan Pandangan
menurut Etika Kristen terhadap Hal itu.
Secara pandangan Alkitab, telah
dibuktika tidak ada lagi hubungan yang mati dan orang-orang yang telah
meninggal (Peng 9: 5-6), jadi pemujaan kepada Roh nenek moyang adalah hal yang
tidak Kristiani dan ini adalah bentuk pembangkangan terhadap etika Kristen.
Dalam Hukum Taurat ke-2 ditegaskan bahwa Allah melarang bangsa Israel untuk
membuat patung menyerupai apapun dan dimanapun, Allah melarang bangsa Israel
untuk menyembah hal-hal yang demikian (Kel. 20: 4-5). Menghormati Orang tua
dilakukan pada waktu semasa hidup mereka, jika hal tersebut dilakukan setelah
meninggal itu tidak ada lagi gunanya dihadapan Allah. Apalagi sampai memberikan
persembahan dengan maksud meminta berkat, maka hal ini sama sekali tidaklah
benar. Tuhan melarang umatNya untuk memper-Tuhankan nenek moyang, Dia melarang
untuk menyampaikan kurban-kurban dan sajian-sajian.[22]
Memang di Alkitab dikatakan bahwa
manusia adalah gambaran dan rupa Allah. Namun walaupun demikian manusia
bukanlah Allah, Allah adalah pencipta dan manusia adalah ciptaan. Ada perbandingan
yang membedakan antara Allah dengan Allah dan manusia. Artinya manusia
senantiasa dipelihara oleh hukum dan kehendak Allah sampai selama-lamanya, jadi
ketaatan manusia kepada Allah bersifat kekal.[23]
Walaupun manusia diharuskan taat sepenuhnya terhadap Allah bukan berarti bahwa
mereka tidak boleh menghormati orang tuanya (Mrk 7:9-13), Tuhan Yesus
mengkritik sistem adat masyarakat Yahudi yang terlalu menekankan hormat kepada
ahli-ahli taurat dan mengabaikan hormat pada orang tua. Yesus menekankan bahwa
orang tua harus dihormati tapi wujud hormat itu tidak boleh sampai menyembah
mereka sehingga menduakan Allah. Menurut Hukum Taurat ke-5 hormat kepada orang
tua adalah wujud dari penghormatan kepada Allah dengan cara peduli, menghargai,
memelihara, dan memperhatikan.[24]
Dalam perjanjian Baru, Istilah tugu
dapat kita temukan didalam Mat. 23:29, “Celakalah kamu hai ahli-ahli taurat dan
orang-orang farisi, hai kamu orang-orang munafik sebab kamu membangun makam
nabi-nabi dan pemberindah tugu orang-orang saleh”. Dengan demikian, berarti
Yesus melarang melarang orang-orang membangun tugu, karena pada umumnya
tugu-tugu ini digunakan untuk penyembahan berhala. Jadi bagaimana konsep yugu
yang sebenarnya? Paulus mengatakan bahwa Tugu yang sebenarnya (Tugu Kebenaran)
adalah Gereja (bnd 1 Tim. 3:15). Disini dijelaskan bahwa Alkitab memandang pembangunan tugu bukan
sebagai penghormatan terhadap nenek moyang dan tempat penyimpanan
tulang-belulang orang yang sudah meninggal, tetapi sebagai peringatan atas
keagungan dan kebesaran Tuhan Allah yang senantiasa melindungi, membimbing dan
membebaskan bangsa-Nya.[25]
BAB III
PENUTUP
Ø
Refleksi
Manusia
diberikan Allah kebebasan tapi kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang
bertanggungjawab, kebebasan untuk melakukan hal-hal yang berkenan baig Allah
serta bertanggungjawa dalam melaksanakan kehendak-Nya. [26]Karena
pengaruh utama bagi etika seseorang adalah imannya.[27]
Iman Kristen adalah dinamis dan selalu berpusat pada Kristus yang didalamnya
Allah berkarya, dan berkat keselamatan kepada seluruh orang percaya mengalir
dari pengorbanan-Nya di kayu Salib. Jadi tidak ada berkat dari roh leluhur,
karena sebagai yang ada di dunia adalah ciptaan Alah, jadi bila kita menyembah
ciptaan-Nya dan mengabaikan Tuhan, tentulah itu perbuatan Dosa. Iman yang benar
akan memberikan dampak yang nyata dan Iman yang membebaskan. Iman Kristen
adalah pembebasan, bebas dari pemujaan pada hal yang palsu, sesat dan bebas
dari ketertindasan. Karena itu Iman Kristen.[28]
Jadi bagi kita seorang Kristen yang
beriman kepada Yesus Kristus, meskipun memiliki latarbelakang suku dan
kebudayaan yang berbeda. Diajak untuk hidup berdasarkan iman Kristen. Bukan
berarti untuk meninggalkan corak kebudayaan secara keseluruhan, tetapi diajak
untuk dapat lebih baik lagi, dalam memilah gaya dan cara hidup yang
berlandaskan Iman Kristen dan tentunya sesuai dengan Kehendak Allah.
Ø
Rencana Aksi
Sebagai
Recana Aksi kelompok untuk menghadapi Studi kasus yang kami teliti, kami
melihat yang paling berperan dalam hal ini adalah Gereja yang harus lebih
menunjukkan Eksistensi dan Suara kenabiannya di tengah-tengah masyarakat Batak.
Gereja harus bisa lebih memfokuskan untuk memberikan pemahaman kepada
masyarakat Batak mengenai Tugu. Dimana Tugu hanyalah sebatas untuk pengetahuan
akan garis keturunan, dan sebagai Bukti yang Memperasatukan dan membangun
hubungan yang erat dalam satu Marga dalam menumbuhkan rasa kebersamaan, dan
dalam tindakan kehidupan selebihnya haruslah berlandaskan kepada Firman Allah.
Ø
Kesimpulan
Tugu bagi orang Batak merupakan
monument yang tidak hanya sekedar bangunan biasa. Tugu dibangun oleh Orang
Batak sendiri sebagai wujud kebersamaan semarga, dan juga untuk menghormati
para leluhur atau nenek-moyang orang Batak sendiri karena itu, karena itu
tulang-belulang leluhur atau orang tua disimpan di Tugu tersebut. Setelah itu,
sebagai wujud penghormatan manusia terhadap leluhurnya, dan cara untuk meminta
berkat dari leluhurnya, masih ada beberapa orang Batak yang melakukan
ritual-ritual acara menyembah dan membawa persembahan ke Tugu.
Mengenai Pemujaan ini pastinya
sangatlah ditentang oleh Pandangan Kristen, karena hal itu termasuk pada
penyembahan Berhala. Alkitab berpandangan Leluhur atau Orang tua haruslah
dihormati ketika masa hidupnya (Taurat ke-5), jika menghormati dan apalagi
memujanya setelah mati itu merupakan penyembahan berhala, dan pastinya
merupakan bentuk pelanggaran terhadap Kehendak Allah
DAFTAR PUSTAKA
Saleh.M, Seni Patung Batak dan Nias, Direktorat Jendral Kebudayaan,
1980
Schreiner, Lothar, Adat
dan Injil, BPK Gunung Mulia, Jakarta
2003
Suhunan Situmorang, Sordam, Gagas Media, Depok
2005
KBBI, Balai Pustaka, Jakarta
1990
Amudi Pasaribu, Pembangunan
tugu dari segi Sosial-Ekonomi, B.A Simanjuntak (ed) dalam Pemikiran Tentang Batak, Universitas
HKBP Nommensen, Medan
1986
Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, L-SAPA,
Pematang Siantar
2007
Bungaran A. Simanjuntak, Pemikiran Tentang Batak, Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
2011
Clude Guillot, Lobu
Tua Sejarah Awal Barus, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
2002
J. Verkuyl, Etika Kristen Kapita Selekta, BPK
Gunung Mullia,
1989
Karel Sosipater, Etika Perjanjian Lama, Suara Harapan
Bangsa, Jakarta
2010
E.D.R
Hutauruk, Pembangunan
Tugu Nenek Moyang Orang Batak Ditijau Dari Segi Iman Kristen,
dalam, Tidak Ada Yang Mustahil Bagi Allah, J.R
Hutauruk, TP, Pematang
Siantar,
1986.
K. Bertens, Etika, PT. Gramedia, Jakarat
1994
Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis, BPK Gunung
Mulia, Jakarta 1989
Soedjatmoko, Etika Pembebasan, LP3S, Jakarta
1984
Hasil Penelitian Kelompok, 15 Oktober 2016, Kampung Hutapea, Laguboti
[5] Amudi
Pasaribu, Pembangunan tugu dari segi
Sosial-Ekonomi, B.A Simanjuntak (ed) dalam Pemikiran Tentang Batak, (Medan: Universitas HKBP Nommensen, 1986),
182
[8] Bungaran
A. Simanjuntak, Pemikiran Tentang Batak,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), 250
[10] Hasil Penelitian Kelompok, 15
Oktober 2016, Kampung Hutapea, Laguboti
[11] Clude
Guillot, Lobu Tua Sejarah Awal Barus, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2002), 238
[25] E.D.R Hutauruk, Pembangunan Tugu Nenek Moyang Orang Batak
Ditijau Dari Segi Iman Kristen, dalam, Tidak
Ada Yang Mustahil Bagi Allah, J.R
Hutauruk, (Pematang Siantar: TP, 1986), 148.