Pages

Subscribe:

13 Dec 2017

MENINGKATKAN SPIRITUALITAS DENGAN BERIBADAH



I.                   PENDAHULUAN
Ibadah merupakan suatu tanda bahwa kita memiliki agama. Melalui ibadah kita akan menjadi merasa lebih dekat dengan Tuhan. Selain itu, ibadah merupakan hal yang terpenting untuk pertumbuhan iman dan spiritual kita. Namun dalam kehidupan orang Kristen sekarang masih banyak yang kurang menyadari pentingnya untuk menumbuhkan spiritualitas. Ini disebabkan kehidupan di zaman modern ini, dimana manusia banyak yang mementingkan kebutuhan jasmaninya dibanding dengan kebutuhan rohaninya. Sehingga tak heran lagi bagi kita, bila sekarang ini banyak manusia atau anggota jemaat yang malas untuk pergi beribadah. Ini dikarenakan kurangnya kesadaran manusia untuk beribadah. Hal ini sendiri terlihat di beberapa gereja yang kehadiran jemaatnya sangat minim untuk menghadiri ibadah.
Dengan ibadah dapat dicapai komunikasi dengan Allah, melalui Firman Tuhan dan doa kepadaNya di dalam keheningan dan ketenangan hati, di tengah keseharian, selain itu juga untuk menumbuhkan spiritualitas, sehingga dapat terbentuk pribadi yang hidup sesuai dengan kehendak Allah. Namun pada kenyataanya, banyak anggota jemaat yang beranggapan Ibadah hanyalah formalitas semata, untuk memenuhi kewajiban keagamaan saja, tanpa menghidupinya, atau diterapkan dalam kehidupannya. Berdasarkan hal-hal di atas, maka penulis akan coba membahas mengenai betapa pentingnya Ibadah untuk meningkatkan Spiritualias, agar dengan spiritulitas yang matang kita dapat hidup berdampingan dengan sesama dengan baik, terlebih juga dengan Allah.



II.                ISI
2.1  Spiritualitas
Pemahaman atas Spiritualitas, dapat digali dari akar katanya, yaitu “Spirit”.  Dalam Bahasa Ibrani, kata yang digunakan untuk menyebut kata “spirit” adalah “ruah”. Pengertian dasarnya di dalam Perjanjian Lama adalah Angin (mis. di dalam Yes. 7:1; Kej 3:8; Kel. 10:13). Pengertian lainnya adalah nafas yang dikaruniakan Allah kepada manusia (Yes. 42:5). ataupun juga angin yang menunjukan kuat kuasa Tuhan. Namun pengertian tersebut diperluas, dimana “ruah” adalah energi atau kekuatan vital, yang berasal dari inisiatif dan karya Allah sebagai nafas, perasaan ataupu kehendak di dalam diri seseorang.[1]
Dalam Perjanjian Baru, kata “ruah” tersebut sejajar dengan kata “pneuma”. Dimana “Pneuma” atau spirit dapat berarti dimensi kepribadian manusia dalam kaitannya hubungannya dengan Allah menjadi sesuatu yang mungkin (Mark. 2:8; Kis. 7:59; Rom. 1:9; 8: 16; I Kor. 5:3-5). Roh Manusia memungkinkan untuk berhubungan langsung dengan Roh Allah (Rom. 8:9-17). Daging dan roh sering berdekatan dan keduanya dapat saling merusak (II Kor. 7:1); atau sama-sama kudus (I Kor. 7:34). Kelemahan daging dapat menguat, tetapi roh akan berdoa (Mark. 14:38).  Menyembah Allah dalam Roh diterima, dan ini bertentangan menyembah Allah dalam daging (Fil. 3:3). Allah adalah Roh; karena itu manusia menyembahNya di dalam Roh dan Kebenaran (Yoh. 4:24). Karena Roh Allah adalah kudus, maka Ia akan bertentangan dengan roh ketidakkudusan dan roh jahat yang merusak hubungan antara Allah dan manusia.
Baik Perjanjian Lama ataupun Perjanjian Baru juga memberikan kesaksian tentang perjalanan spiritualitas Umat Allah. Dalam tradisi Israel, spiritualitas adalah hidup di dalam kerangka karya keselamatan Allah bagi umat-Nya dalam sejarah umatNya. Sejarah karya keselamatan Allah tersebut direfleksikan di dalam iman persekutuan umatNya dan di dalam liturgi, dan dipusatkan di kuilNya. Tiap individu menjadi berhubungan dengan sejarah dan identitas sebagai Umat Allah di dalam kehidupan ibadahnya. Dimana di dalam ibadah tersebut terekspresikan permohonan, pujian, ucapan syukur, dan penyesalan dosa.[2] 
Ibadah dalam tradisi Israel mengkonsepkan bahwa Tuhan adalah Dia yang memasuki hubungan diagologis dengan umatNya. Dia diyakini memperhatikan apa yang dibutuhkan umatNya; marah akan dosa umat; bahkan membuka berubahnya pemikiran umatNya (Kel. 32:7-14; Bil. 14:13-25; 1 Sam. 8:4-22). Dalam spiritualitas umat Israel, fokus utamanya adalah kehadiran Allah dalam hidup mereka. Namun Allah juga dapat tidak hadir dalam hidup mereka. Sehingga, fokus utama itu juga akan merujuk kepada kepatuhan kepada Hukum Allah. Hukum itu adalah ekspresi kehendak Allah dan kehendakNya kepada umat sebagai jalan kepada seluruh ciptaan. Pemenuhan kehendak Allah itu adalah nyatanya kehadiran Allah. Oleh karena itu, orang Israel akan  belajar dan memelihara HukumNya (Ul. 6:4-9)[3]
Spiritualitas umat Kristen diawali dari titik penebusan dosa di dalam Kristus. Kita dibaptiskan di dalam Kristus, dimana sebagai orang berdosa orang Kristen ditebus dan menjadi ciptaan baru (Rom.6: 3-11; 2 Kor. 5:17). Spiritualitas yang sesungguhnya bukanlah program seseorang ataupun bagaimana seseorang mencoba untuk membenarkan dirinya sendiri (Gal. 2:15-21). Tetapi dimulai dari panggilan Allah, lahir baru, pertobatan (Yoh. 3:3-4, Kis. 2:38-39). Dalam hal ini, maka Spiritualitas Kristen juga bicara tentang kekudusan.
Spiritualitas juga akan dikaitkan dengan kekuatan cinta dari hidup. Dengan cinta kasih sayang tersebut, setiap ciptaan akan berhubungan dengan ciptaan yang lain, yang mana tidak hanya hidup; tetapi ingin hidup.[4] Dengan dimensi spiritualitasnya, maka manusia tidak hanya bicara bagaimana ia hidup; tetapi juga bagaimana orang lain hidup; dan bagaimana ia hidup bersama orang lain. Tetapi itu bukanlah dengan kekuatan manusia sendiri.  Sebagai akarnya adalah kehidupan orang Kristen dengan dimensi spiritualnya, yang merujuk kepada penghidupan praktik peribadahan.[5] Dari sini, maka dimensi spiritualitas orang Kristen akan mempengaruhi bagaimana hubungan antara Roh dan daging. Dimana orang-orang Kristen tetap akan menghadapi konflik dengan daging. Konflik dengan daging itu adalah konflik dengan dosa. Ada baiknya, jika akan selalu ada perjuangan untuk bisa memenangkan konflik tersebut, jika memiliki tingkatan spiritualitas yang tinggi.
Dalam hal ini, spiritualitas dalam pemahaman yang demikian adalah sebuah proses. Proses itu sendiri serupa dengan spiritualitas Yahudi, yang diformulasikan membaca dan mendengar, dan menghidupi kasih. Fokus orang Kristen seharusnya adalah totalitas penyembahan kepada Allah (Mat. 6:33), dan itu membutuhkan Kasih Allah dan respon manusia secara totalitas di dalam pengorbanan dan transformasi akal budi (Rom. 12:1-2). Kebangkitan dan pemeliharaan fokus utama tersebut dapat dicapai dengan membaca kitab suci, meditasi, doa, puasa, kehadiran dalam gereja, bersedekah dan melayani sesama.[6] Sehingga Spiritualitas Kristen bicara tentang bagaimana menghayati perjumpaan dengan Kristus dengan menunjuk bagaimana cara kehidupan kristen dijalani dan bagaimana praktek penyembahan dikembangkan untuk membantu menumbuhkan dan melanggengkan hubungan dengan Kristus, di tengah-tengah dinamika hidup dengan segala pergumulannya. Dengan harapan terjadinya perubahan hidup dalam sikap tindak dan perilaku yang menuju kepada pertobatan dan buah-buahnya. [7]
2.2  Ibadah Kristen
Kata Ibadah, sebenarnya lebih dekat pada artian “mengabdi pada”. Kata tersebut menyangkut bukan hanya upacara agama, melainkan seluruh hidup. Kata Ibadah berasal dari bahasa Ibrani “abodah”, dengan akar kata “abad” yang berarti “bekerja atau abdi”. Dalam penggunaan katanya menunjuk pada “melayani seorang atasan atau tuan/nyonya”. Dengan demikian kata abodah dapat berarti “ibadah” atau “pekerjaan seorang hamba”.[8] Kata Ibadah diartikan dengan memberikan penghormatan kepada Allah sebagai Pencipta, Penyelamat, dan Pengudus. Ibadah Kristiani meliputi pujian, syukur, penyerahan diri, tobat, dan doa permohonan.[9] Adapun Kata Ibadah berasal dari bahasa Inggris Kuno weorthscipe, yang secara harafiah berarti memberikan penghormatan atau penghargaan kepada seesorang.
Ibadah juga tentu ada kaitannya dengan Liturgi. Kata Liturgi berasal dari Yunani yaitu Leitourgia (leos : rakyat & ergon: kerja) yang berarti kerja bakti yang dilakukan penduduk kota. Pada zaman itu liturgi berarti apa yang dibaktikan seseorang bagi kepentingan kehidupan bersama. Kemudian Liturgi juga berarti pajak yang dibayar oleh warga negara. Sekitar tahun 300 S.M, kata liturgi mendapat arti yang lain, yakni ibadah dalam kuil. Beberapa ratus tahun kemudian para pengarang Perjanjian Baru memakai kata liturgi untuk ibadah atau kebaktian kepada Tuhan. Dalam Kisah Para Rasul 13.2 tertulis : “Pada suatu hari ketika mereka beribadah (leitourgounton) kepada Tuhan . . .” Dari situ kita sekarang mengenal kata liturgi dalam arti tata Ibadah.[10]
Ibadah juga merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dan berbeda dengan kegiatan yang biasa kita lakukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Ibadah Kristen adalah sejenis ibadah yang sangat kuat berlandaskan pada pengaturan waktu untuk membantu ibadah tersebut dalam memenuhi maksudnya. Ibadah Kristen adalah penyataan diri Allah sendiri dalam Yesus Kristus dan tanggapan manusia terhadap-Nya. Kalimat itu mempunyai dua kata kunci yaitu “penyataan” dan “tanggapan”. Di tengah keduanya adalah Yesus Kristus yang menyingkapkan Allah kepada kita dan melalui siapa kita membuat tanggapan kita. Ini adalah suatu hubungan timbal balik dimana Allah mengambil inisiatif dalam mencari kita melalui Yesus Kristus dan kita menjawab melalui Yesus Kristus dengan menggunakan emosi, kata-kata dan bermacam-macam perbuatan. Jadi Allah sendirilah yang membuat ibadah itu suatu kemungkinan: “Pemberian Allah mengundang penyembahan manusia kepada Allah”. Ibadah adalah penampakan diri Gereja, yang karenanya Gereja mendapatkan identitas dirinya dalam ibadah karena hakikatnya yang riil dijadikan nyata dan Gereja dituntun untuk mengakui keberadaannya sendiri yang sebenarnya.[11]

2.3  Pujian dan Penyembahan
Pujian dan penyembahan merupakan suatu istilah yang sering kita dengar di antara jemaat Tuhan. Hal ini sering kali dihubungkan dengan pelayanan musik. Di satu sisi memang hal ini benar, tetapi di sisi lain, ada beberapa hal yang perlu diketahui, sehingga pemahaman kita terhadap apa yang disebut dengan pujian dan penyembahan menjadi lebih lengkap.[12] Pujian bukanlah konsep yang sulit dimengerti, karena ia adalah bagian hidup kita sehari-hari. Pujian adalah sesuatu yang kita tujukan langsung kepada Tuhan atau sesuatu yang yang kita ungkapkan kepada orang lain mengenai Tuhan. Terkadang pujian diartikan dengan konsep yang sederhana, yaitu membanggakan, memberi tepuk tangan, menunjukkan rasa kagum atau senang terhadap, mengelu-elukan dengan kata-kata atau nyannyian, membesarkan, memuliakan.[13] Perlu disadri bahwa pujian dan penyembahan bukan hanya merupakan satu gerakan dalam alam gerakan pikiran kita saja, tetapi juga merupakan suatu tindakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Pujian dan penyembahan akan mempengaruhi kehidupan seseorang, yakni bagaimana seseorang bertingkah laku. Dalam pujian dan penyembahan, perubahan gaya hidup dan karakter seseorang akan semakin nyata mengarah kepada keserupaan terhadap Kristus.[14]
Dalam Roma 15:11, Tuhan mengatakan “Dan lagi: pujilah Tuhan, hai kamu semua bangsa-bangsa, dan biarlah segala suku bangsa memuji Dia”. Kata pujian atau praise merupakan terjemahan dari bahasa Ibrani dan Yunani. Pujian diartikan sebagai sesuatu tindakan memuji yang diekspresikan secara sungguh-sungguh, yang berdasarkan keadaan suatu objek. Pujian itu adalah sebuah tindakan. Pujian bukan hanya perasaan, tetapi pujian merupakan sesuatu yang dilakukan oleh seseorang. Jika kita hanya berpikir untuk memuji, hal tersebut belumlah memuji. Memuji yang sebenarnya adalah disertai dengan adanya perlakuan pujian yakni suatu tindakan yang nyata. Bila kita memuji Tuhan, maka jelaslah pujian tersebut harus merupakan suatu tindakan. Pujian yang diberikan harus berasal dari kesungguhan dan ketulusan hati. Bukan pijian yang basi-basi. Pujian adalah merupakan benar-benar pujian apabila dinyatakan dari dalam hati yang paling dalam. Pujian bukanlah kata-kata yang tanpa arti sesungguhnya. Apalagi kalau pujian itu tidak tulus seperti yang dilakukan para serdadu wali negeri yang mengolok-olok Yesus dan berkata “Salam, hai Raja orang Yahudi” (Mat 27:29).
Allah tidak memerlukan pujian yang munafik dan basa-basi, melainkan Dia merindukan agar anak-anak-Nya dapat memuji Dia dengan sepenih hati. Pujian yang keluar dari hati yang tahu akan kebenaran ucapannya merupakan dupayang harum bagi Allah. Terkadang kita sebagai jemaat Allah menyanyi dalam ibadah di Gereja telah diartikan bahwa kita sedang memuji Allah. Namun, perlu diingat, jika kita bernyanyi hanya karena pemimpin pujian menyuruh kita bernyanyi atau karena kita sebagai orang Kristen sudah menjadi bagian dari liturgi Gereja, sehingga nyanyian tersebut menjadi rutinitas yang harus dilakukan dalam ibadah, maka sudah dapat dipastikan bahwa kita sedang memuji dalam arti yang sebenarnya.[15]
2.4  Peran Ibadah Terhadap Spiritualitas
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, spiritualitas orang Kristen akan bicara tentang bagaimana orang Kristen berproses dalam menghayati perjumpaan dengan Kristus dengan menunjuk bagaimana cara kehidupan kristen dijalani dan bagaimana praktek penyembahan dikembangkan untuk membantu menumbuhkan dan melanggengkan hubungan dengan Kristus, di tengah-tengah dinamika hidup dengan segala pergumulannya.
Orang Kristen secara nyata patutlah untuk menjalani hidup menuju pertobatan dan mencapai kekudusan di dalam segenap gerak langkah hidupnya. Dengan spiritualitasnya, orang Kristen menjadi taat kepada Allah dari hatinya. Orang Kristen tidaklah hanya berpikir tentang bagaimana ia hidup; tetapi juga bagaimana ia hidup bersama orang lain. Dan spiritual orang Kristen dapat menentukan bagaimana ia dapat hidup seperti yang demikian. Namun jatuh bangun dalam menjalani hidup seperti akan selalu terjadi. Maka untuk itu, Allah tidak akan membiarkan orang Kristen sendirian.[16]
Setiap orang di dalam sebuah komunitas atau lingkungan, dapat kapan saja mengalami kerusakan hubungan. Tiap orang memiliki permasalahan dalam dinamika kehidupannya. Terkadang masalah itu datang dari orang lain; atau datang dari diri sendiri. Dan masalah-masalah itu, bisa menyebabkan terjadinya gangguan dalam relasi sosial seseorang dengan orang lainnya. Sehingga semakin memperbesar ketidakbahagiaan serta menambah banyak persoalan.
Di tengah situasi yang demikian, terjadilah kesukaran setiap orang, khususnya orang Kristen untuk benar-benar dapat memahami Tuhan dan kehendakNya di dalam pengalaman hidup. Pemahaman tentang Tuhan dan iman, mungkin sudah menjadi sebuah pengetahuan konseptual; tetapi tidak di dalam praktiknya. Keselamatan seharusnya dibuahkan di dalam keseharian, melalui pertobatan dan perjuangan bersama Tuhan untuk mencapai kekudusan, melalui penghidupan Firman dan Suri Teladan Kristus. Tetapi bisa saja terjadi kendala, dimana secara riil, Firman Tuhan tidak mendapat tempat untuk dibuahkan di dalam pengalaman. Dalam rangka itulah, spiritualitas orang Kristen penting untuk ditumbuhkembangkan, demi mencapai orang Kristen yang cerdas spiritual. Orang Kristen yang cerdas spiritual akan mudah menghantar dirinya ke arah positif dalam berbagai situasi yang ada, dimana dia sudah memiliki kesadaran yang mendalam akan hidup yang berarti dan sejati. Ia dapat menentukan untuk dapat bertindak baik atau jahat; baik atau buruk; bijaksana atau tidak bijaksana. Orang yang cerdas spiritual dapat mengenali dirinya sendiri; jujur pada dirinya; dan mengendalikan dirinya sendiri. Ia juga peka kepada orang lain dan lingkungannya, serta tenang dalam menghadapi situasi yang berganti-ganti.[17]
Intinya orang yang cerdas spiritual akan sangat menikmati hubungannya dengan Tuhan, berkomitmen dan berdedikasi di dalam iman yang kuat. Ia akan memahami kehendak Allah dalam hidup dan akan tulus untuk bisa hidup dengan iklas, adil, mengampuni, suka memberi, belas kasih, bijaksana, dan tanggungjawab yang tinggi. Ia akan mengutamakan sikap saling mengasihi, memelihara dan membimbing. Hal yang terpenting untuk meningkatkan kecerdasan spiritual adalah kesadaran atas diri sendiri. Sadar sepenuhnya tentang tugas dan tanggungjawabnya sebagai ciptaan Tuhan, dengan segala kekuatan dan kekurangannya. Kecerdasan spiritual dapat dikembangkan dengan mendalam nilai-nilai spiritual, melatih kesadaran mendalam akan makna, visi, dan tanggungjawab kehidupan. Dan melatih untuk tidak berbuat sesuatu demi dirinya sendiri; melainkan untuk orang lain.
Dan sesuai dengan yang sudah disebutkan sebelumnya, kesadaran diri tersebut berakar dari praktek peribadahan untuk mengembangkan spiritualitas/kecerdasan spiritual orang Kristen. Dan menghidupi ibadah harian dapat menjadi salah satunya. Orang Kristen tidak dapat memisahkan ibadah harian, sebab ibadah harian membawa kepada fokus menyerahkan seluruh hari kita kepada Allah. Gaung dari ibadah Minggu dilanjutkan gemanya setiap hari oleh orang Kristen. Ibadah akan membawa orang Kristen untuk berkomunikasi dengan Allah di dalam Doa Pujian dan Permohonan.
Ibadah atau doa dapat dipraktikan dalam suasana komunal ataupun pribadi. Mungkin dapat dihidupi setiap hari. Meskipun saat ini, kehidupan seolah memaksa orang Kristen untuk lebih fokus untuk kehidupan duniawinya, namun tetap penting untuk tidak melupakan pembangunan dan pengembangan spiritualitasnya, yang dapat menunjang bagaimana dirinya menjalani kehidupan duniawinya. Kedispilinan membaca, mendengarkan Firman Tuhan serta berdoa dapat menjadi sumber kekuatan dan pengetahuan untuk membuka dan memurnikan hati ini, yang nantinya akan membantu mengarahkan pikiran, sikap dan tindakan seturut dengan FirmanNya.
Ibadah juga dapat berperan dalam pembentukan hati nurani yang seturut dengan Firman Tuhan. Dengan displin menghidupinya, maka hati nurani akan terlatih untuk mensejajarkan penilaian terhadap pikiran, perkataan, sikap dan tindakan kita. Apabila menghabiskan waktu secara teratur dengan Allah dalam membaca Alkitab dan merenungkannya serta berdoa, maka seseorang akan menjadi heran bagaimana hati ini menuntun dalam kehidupan.[18] Ibadah dapat lebih membawa peranan yang kuat dalam kaitannya dengan spiritualitas atau kecerdasan spiritual, apabila dilakukan dalam keseriusan dan memang hati kita tertuju kepada Allah. Dengan itu, maka manusia dapat membebaskan pikiran dan imajinasi untuk terfokus dan terpusat pada hadirat Allah yang Hidup (Maz. 46:10).[19]

III.             KESIMPULAN
1.       Spiritualitas Kristen bicara tentang bagaimana orang Kristen berproses dalam menjalani kehidupannya di dalam ketaatan dari hati kepada Allah dan kasih kepada sesamanya;
2.       Dengan kehidupan spiritualnya, orang Kristen dapat menjadi pribadi yang penuh kasih; peka terhadap orang lain dan lingkungan; tenang dalam menghadapi berbagai situasi, serta sikap dan tindakan positif lainnya;
3.       Spiritualitas orang Kristen dapat dibangun dan dikembangkan melalui kedisplinan menghidupi ibadah. Dimana ibadah dapat sumber kekuatan dan pengetahuan untuk membuka dan memurnikan hati serta membantu mengarahkan pikiran, sikap dan tindakan seturut dengan FirmanNya;
4.       Ibadah dapat dihidupi dalam keseharian di lingkungan keluarga ataupun secara pribadi, di dalam keheningan dan penghayatan yang dalam. Serta patut dihidupi bersamaan dengan lingkup spiritual Kristiani lainnya. 






DAFTAR PUSTAKA

Carl Schultz, “Spirit”, dalam Baker Theological Dictionary (Ed. Walter A. Elwell), Michigan: Baker Books, 1996.

Allister E. McGrarth, Spiritualitas Kristen, Medan: Bina Media Perintis,  2007.

Dennis, L. Okhlom, “Spirituality”, dalam Baker Theological Dictionary (Ed. Walter A. Elwell), Michigan: Baker Books, 1996.

Juergen Moltmann, The Spirit of Life, Minneapolis: Fortress Press, 1992.

“Spirituality”, dalam The Concise of the Christian tradition (Ed. J.D. Douglas, W. Elwell, Peter Toon), Zondervan Publishing Company, 1989.

Christoph Barth, Teologi Perjanjian Lama 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.

Gerald O’Collins & Edward G. Farrugia,  Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Andar Ismail, Selamat Berbakti, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.

James F. White, Pengantar Ibadah Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.

John Halim, Pujian dan Penyembahan dalam 24 Jam, Malang: Gandum Mas, 2005.

Bob Sorge, Mengungkap Segi Pujian dan Penyembahan, Yogyakarta: Andi Offset, 2010.

Theo Riyanto & Martin Handoko. Membangun Hidup Religius Yang Damai dan Sejahtera, Yogyakarta : Kanisius, 2008.

Jerry White, Kejujuran, Moral dan Hati Nurani, Jakarta: BPK Gunung Muia, 2000.



[1] Carl Schultz, “Spirit”, dalam Baker Theological Dictionary (Ed. Walter A. Elwell), Michigan: Baker Books, 1996: 744.
[2] Dennis, L. Okhlom, “Spirituality”, dalam Baker Theological Dictionary (Ed. Walter A. Elwell), Michigan: Baker Books, 1996, 744.
[3] Dennis, L. Okhlom, “Spirituality”, 746.
[4]   Juergen Moltmann, The Spirit of Life, Minneapolis: Fortress Press, 1992, 86.
[5]   “Spirituality”, dalam The Concise of the Christian tradition (Ed. J.D. Douglas, W. Elwell, Peter Toon), Zondervan Publishing Company, 1989, 358.
[6]  Dennis, L. Okhlom, “Spirituality”, 747.
[7]  Allister E. McGrarth, Spiritualitas Kristen, 2.
[8] Christoph Barth, Teologi Perjanjian Lama 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010. 44
[9] Gerald O’Collins & Edward G. Farrugia,  Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996, 109
[10]Andar Ismail, Selamat Berbakti, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008, 32
[11] James F. White, Pengantar Ibadah Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002, 7-9.
[12] John Halim, Pujian dan Penyembahan dalam 24 Jam, Malang: Gandum Mas, 2005, 9.
[13] Bob Sorge, Mengungkap Segi Pujian dan Penyembahan, Yogyakarta: Andi Offset, 2010, 1-2.
[14] John Halim, Pujian dan Penyembahan dalam 24 Jam, 10.
[15] John Halim, Pujian dan Penyembahan dalam 24 Jam, 10-11.
[16] Theo Riyanto & Martin Handoko. Membangun Hidup Religius Yang Damai dan Sejahtera, Yogyakarta : Kanisius, 2008, 15
[17] Theo Riyanto & Martin Handoko. Membangun Hidup Religius Yang Damai dan Sejahtera, 59
[18] Jerry White, Kejujuran, Moral dan Hati Nurani, Jakarta: BPK Gunung Muia, 2000, 32.
[19] Allister E. McGrarth, Spiritualitas Kristen, 164.